OJK Batasi Nilai Kredit Lewat Fintech Maksimal Rp 2 Miliar
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan aturan bagi usaha pinjam-meminjam uang antarpengguna (peer to peer lending) yang merupakan bagian dari transaksi keuangan berbasis digital (financial technology / fintech). Aturan ini utamanya ditujukan untuk memberikan perlindungan kepada pengguna maupun pemberi pinjaman serta penyelenggara.
Deputi Komesioner Manajemen Strategis IA OJK Imansyah mengatakan, regulasi itu tertuang dalam Peraturan OJK (POJK) nomor 77/POJK.01/2016 yang dirilis pada akhir tahun lalu.
"Dengan aturan ini, kita ingin semua (fintech peer to peer lending) di sini punya kualifikasi yang bagus. Kita ingin memastikan industri yang ada tidak abal-abal," ujar Imansyah saat konferensi pers, di Gedung OJK, Jakarta, Selasa (10/12).
(Baca juga: PPATK Temukan Indikasi Aliran Dana Terorisme Lewat Fintech)
Ia berharap regulasi ini dapat mendukung pertumbuhan industri fintech peer to peer lending ini sebagai alternatif sumber pembiayaan masyarakat. Terutama bagi mereka yang selama ini sulit mendapat akses dari industri jasa keuangan seperti perbankan, pasar modal, perusahaan pembiayaan, dan modal ventura.
Imansyah mengatakan, peraturan ini sudah digodok oleh tim digital ekonomi keuangan internal OJK, dengan berkolaborasi dengan pelaku start up bidang tersebut dan juga dari Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Pekiraan Nominal Transaksi Fintech di Beberapa Negara 2016
Dalam peraturan ini, penyelenggara diwajibkan melakukan pendaftaran sebelum mengajukan permohonan untuk memperoleh izin. Dalam masa pendaftaran yang dibatasi setahun ini, penyelenggara masih boleh melakukan aktivitas pinjam meminjam secara penuh dengan pendampingan OJK
Selanjutnya, inti utama dari adanya peraturan ini adalah untuk melindungi konsumen. Dengan demikian, OJK menuntut penyelenggara untuk menyediakan akun virtual di perbankan serta menempatkan pusat data di dalam negeri. Hal ini dilakukan agar OJK memiliki basis data lengkap mengenai penyelenggara usaha simpan pinjam ini.
(Baca juga: Transaksi Keuangan Digital Rp 193 Triliun, BI Buat Kantor Khusus
Sementara itu, untuk melindungi stabilitas sistem keuangan, OJK juga membatasi maksimal pinjaman yang bisa diberikan hanya sebesar Rp 2 miliar. "Kita tidak ingin penyelenggara tidak bisa di monitor, yang menyebabkan tidak terkendali, terjadi bubble, dan berakhir krisis,” kata Imansyah.
Menurut data OJK, pertumbuhan yang cukup pesat, yakni dari 51 perusahaan di triwulan I 2016 menjadi 135 perusahaan di Triwulan III 2016.
Selain itu, dalam mekanisme pemberian pinjaman, OJK mewajibkan penyelenggara untuk menyiapkan kontrak dengan pengguna untuk meminimalisir resiko. Sehingga, terdapat perjanjian antara penyelenggara dengan penerima pinjaman, pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman, dan pemberi penjaman dengan penyelenggara.
(Baca juga: Perusahaan Fintech Alibaba Terseret Kasus Gagal Bayar Utang)
Sementara itu, Kepala Grup Riset Jasa Keuangan Hendrikus mengatakan, OJK juga menekankan bahwa penyelenggara pinjaman dilarang memberikan pinjaman secara langsung. Penyelenggara, menurutnya, hanya boleh mendapatkan untung dari kutipan atau fee antara si peminjam dengan pemberi pinjaman.
“Alasannya, akan terjadi ketidakadilan di mana pihak penyelenggara bisa saja memberikan pinjaman ke peminjam potensial, sedangkan investor luar diberikan ke peminjam yang beresiko,” tuturnya.
(Baca juga: Banyak Aturan, Bisnis E-Commerce Diramal Berguguran 2017)