Amankan Aset Negara, DPR Tolak Payung Hukum Holding BUMN
Komisi BUMN (VI) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menolak peraturan pemerintah nomor 72 Tahun 2016 yang dijadikan pemerintah sebagai payung hukum pendirian induk usaha alias holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Alasannya, bila menggunakan payung hukum tersebut maka kewenangan DPR dalam mengawasi aksi korporasi perusahaan-perusahaan pelat merah bakal tergerus.
Wakil Ketua Komisi VI DPR Mohamad Hekal menjelaskan, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 tahun 2016 disebutkan bahwa perusahaan-perusahaan BUMN akan menjadi anak usaha dari perusahaan BUMN lainnya yang terpilih sebagai holding. Padahal, sesuai Undang-Undang BUMN, anak usaha BUMN secara definisi bukanlah BUMN. Bila peraturan tersebut dijadikan payung hukum maka aksi korporasi perusahaan tersebut termasuk pelepasan aset tidak lagi membutuhkan persetujuan DPR.
"Secara umum teman-teman di Komisi VI keberatan dengan PP 72/2016 ini. Kami, secara sikap politik belum menyetujui adanya peraturan tersebut," ujar Hekal saat ditemui di ruang rapat Komisi VI, Gedung DPR, Jakarta, Senin (23/1). (Baca juga: Payung Hukum Holding BUMN Dinilai Mengandung 8 Pelanggaran)
Ia menganggap, lewat peraturan tersebut, pemerintah ingin mengambil konsensus sendiri untuk menentukan aksi korporasi perusahaan-perusahaan BUMN. Ujung-ujungnya, ia khawatir, pemerintah akan dengan mudah melepas aset atau saham BUMN kepada pihak swasta, terutama swasta asing. "Itu yang kami mau amankan, kalau dia (BUMN) sudah lepas dari milik pemerintah ke swasta maka akan jadi perkara," ujar dia.
Atas dasar itu, Hekal berpendapat, perlu ada peraturan khusus yang mengatur soal pembentukan holding BUMN. Sebab, PP 72 Tahun 2016 sebetulnya mengatur tentang tata cara penyertaan dan penatausahaan modal negara pada BUMN dan Perseroan Terbatas (PT). Harapannya, peraturan khusus itu bisa mencegah hal-hal yang dikhawatirkan Komisi. "PP-nya sudah keluar tapi holding butuh PP lanjutan. Semoga dengan konsultasi yang dilakukan, pemerintah berpikir kembali," ujarnya.
Lebih jauh, Hekal pun menyarankan agar pembentukan holding bisa memiliki payung hukum yang lebih tinggi, yaitu UU BUMN yang akan diamandemen oleh DPR bersama pemerintah. (Baca juga: Bentuk Holding BUMN, Pemerintah Akan Konsultasi ke DPR)
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VI lainnya Inas Nasrullah Zubir mengatakan, dalam PP 72 tahun 2016 terdapat satu pasal yang bermasalah yakni pasal 2A. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa penyertaan modal negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas kepada BUMN atau Perseroan Terbatas lain, dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dengan demikian, bisa terjadi pemindah tanganan aset tersebut kepada Perseroan Terbatas, baik milik BUMN maupun swasta lainnya, bahkan asing dengan cara dijadikan penyertaan modal negara dalam suatu perusahaan. "Ini berbahaya karena aset negara bisa pindah ke perusahaan asing," ujar Inas.