Proteksi Trump, Tantangan sekaligus Peluang bagi Ekspor Indonesia
Donald Trump telah dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat pada 20 Januari 2017 lalu. Dalam pidato pelantikannya, Trump menegaskan janji kampanyenya untuk melakukan proteksi dagang.
“Kita hanya akan menjalankan dua aturan sederhana: Beli produk Amerika dan pekerjakan tenaga kerja Amerika,” ujarnya saat itu. Jika terealisasi, ada tantangan sekaligus peluang dari kebijakan itu.
Dengan Indonesia, nilai perdagangan Indonesia dan Amerika Serikat selama beberapa tahun ini stagnan pada angka sekitar US$ 19 miliar. Bagi Amerika Serikat, Indonesia merupakan mitra dagang peringkat ke-20 di dunia. Peringkat tersebut bahkan di bawah Vietnam, Thailand, dan Malaysia.
Nilai impor produk Indonesia masih kecil dianggap tidak terlalu berkontribusi terhadap defisit perdagangan Amerika Serikat. Namun, secara tak langsung Indonesia akan menghadapi peningkatan tindakan proteksionisme.
(Baca juga: Ketidakpastian Selimuti Pasar Keuangan Pasca Pidato Trump)
Prama Yudha Amdan, Executive Asisstant Presiden Director PT Asia Pacific Fibers Tbk menyatakan, proteksi Amerika Serikat akan menyulitkan ekspor. Di sisi lain, Indonesia berpotensi mendapat limpahan impor benang atau produk tekstil tekstil dari negara yang hasil produksinya tidak bisa masuk Amerika Serikat. "Hal tersebut berpotensi membahayakan industri domestik," ujarnya.
Di sisi lain, jika Trump membatalkan proyek green energy warisan Obama, maka bisa mendongkrak harga batubara.
Hendra Sinadia, Deputi Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) mengatakan, jika dibatalkan maka lembaga pembiayaan AS akan mengucurkan pendanaan ke proyek-proyek industri batubara. "Jika benar, ini akan berdampak positif untuk sektor dunia termasuk tanah air," katanya.
Nilai Ekspor, Impor dan Neraca Perdagangan Indonesia-Amerika Periode 2011-2016
Sementara Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menilai proteksi ini tidak akan terlalu banyak berpengaruh terhadap kinerja ekspor Indonesia.
“Sebab, produk ekspor andalan Indonesia ke Amerika Serikat umumnya berbasis komoditas yang kompetitif seperti karet, udang dan furniture,” katanya.
Selain itu, komoditas ekspor ke Negeri Paman Sam juga merupakan produk manufaktur padat karya yang mengandalkan upah buruh murah, seperti tekstil, produk tekstil, dan alas kaki. Kontribusi tiga produk itu mencapai 31 persen dari total ekspor Indonesia ke Amerik Serikat.
(Baca juga: Ekonom Ramal Banjir Dana Asing ke Indonesia Segera Surut)
“Dengan upah yang relatif tinggi, peluang AS untuk membangun industri manufaktur padat karya yang kompetitif masih sangat kecil,” ujarnya.
Selain itu, ia menilai bahwa target utama proteksionisme Trump memang bukan Indonesia, melainkan Cina dan Meksiko. Dalam kampanyenya pun, Trump sudah mengancam akan mengenakan bea masuk untuk barang asal kedua Negara itu hingga 45 persen dan 36 persen.
Penyumbang terbesar defisit adalah alat telekomunikasi. Selain Cina, negara-negara lain yang masuk dalam rantai nilai tambah pembuatan komponen dan bahan baku terkait, seperti Taiwan, Korea, Malaysia, dan Singapura, juga akan disorot.