Jokowi Minta Menteri Rini Berhati-hati Membuat Holding BUMN
Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berhati-hati dalam membuat induk usaha (holding) BUMN. Sebab, ada beberapa masalah yang perlu diperhatikan, seperti ketimpangan antara BUMN sehat yang memiliki kinerja keuangan baik dengan BUMN yang kondisinya kurang sehat.
Menurut Presiden, Kementerian BUMN harus mempersiapkan pembentukan induk usaha BUMN berbagai sektor tersebut secara matang dan tidak perlu terburu-buru. "Hati-hati, jangan asal cepat saja tapi juga harus matang. Jangan asal besar dan asal gabung saja tapi hati-hati," kata Jokowi saat pembukaan acara "Executive Leader Program (ELP)" bagi para direksi BUMN di Istana Negara, Jakarta, Rabu, (25/1).
(Baca: Amankan Aset Negara, DPR Tolak Payung Hukum Holding BUMN)
Ia pun mengingatkan agar Kementerian BUMN mempertimbangkan betul berbagai aspek dalam pembentukan holding tersebut. Berbagai apsek itu seperti beban finansial, tata kelola perusahaan yang baik, supervisi, hingga manajemen dalam merealisasikan holding BUMN. "Kalkulasi secara matang dan kepatuhan kepada aturan main menjadi kunci realisasi holding ini," ujarnya.
Sebagai bentuk kehati-hatian, Jokowi meminta proses pembentukan holding BUMN ini dilakukan secara terbuka dengan menggandeng banyak pihak. Tujuannya agar Kementerian BUMN mendapatkan banyak masukan terkait tata kelola dalam membentuk holding. "Saya optimis BUMN akan menjadi baik, tapi saya ingatkan untuk berhati-hati," katanya.
Di tempat yang sama, Menteri BUMN Rini Soemarno menargetkan holding BUMN, terutama holding BUMN sektor migas dan holding BUMN sektor pertambangan, paling lambat terbentuk pada semester I ini. Saat ini, Kementerian BUMN masih menggodok peraturan pemerintah (PP) khusus untuk pembentukan holding migas dan tambang tersebut.
(Baca: Payung Hukum Holding BUMN Dinilai Mengandung 8 Pelanggaran)
Di sisi lain, Rini menegaskan, keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 yang merupakan revisi PP Nomor 44 sebagai payung hukum pembentukan holding BUMN tidak akan membuat pemerintah dapat seenaknya melepas aset BUMN. Keberadaan PP ini masih mengacu kepada tiga undang-undang yang menjadi dasarnya, yakni UU Perbendaharaan Negara, UU Keuangan Negara, serta UU BUMN. "Privatisasi pun tetap akan menggunakan persetujuan DPR," katanya.
Rini pun menunjukkan contoh holding BUMN yang sudah ada saat ini, yakni holding semen dan perkebunan. Pembentukan induk usaha dua sektor tersebut terbukti tidak berujung kepada penjualan aset ataupun anak usaha.
Karena itu, Rini meminta semua pihak, termasuk Komisi BUMN (Komisi VI) DPR tidak khawatir terhadap rencana pembentukan holding BUMN tersebut. "Karena memang tidak ada yang mereka jual sama sekali," katanya.
(Baca: Payung Hukum Holding Terbit, Pemerintah Tetap Kontrol BUMN)
Seperti diketahui, Komisi BUMN DPR menolak PP Nomor 72 Tahun 2016 yang dijadikan pemerintah sebagai payung hukum pendirian holding BUMN. Alasannya, bila menggunakan payung hukum tersebut maka kewenangan DPR dalam mengawasi aksi korporasi perusahaan-perusahaan pelat merah bakal tergerus.
Wakil Ketua Komisi VI DPR Mohamad Hekal menjelaskan, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 tahun 2016 disebutkan bahwa perusahaan-perusahaan BUMN akan menjadi anak usaha dari perusahaan BUMN lainnya yang terpilih sebagai holding. Padahal, sesuai Undang-Undang BUMN, anak usaha BUMN secara definisi bukanlah BUMN.
Bila peraturan tersebut dijadikan payung hukum maka aksi korporasi perusahaan BUMN termasuk pelepasan aset tidak lagi membutuhkan persetujuan DPR. "Secara umum teman-teman di Komisi VI keberatan dengan PP 72/2016 ini. Kami secara sikap politik belum menyetujui adanya peraturan tersebut," ujar Hekal.