Neraca Dagang Januari Cetak Surplus Tertinggi Sejak Januari 2014
Neraca perdagangan Indonesia pada Januari 2017 mencetak surplus sebesar US$ 1,4 miliar. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pencapaian itu merupakan surplus bulanan terbesar sejak Januari 2014.
"Iramanya sangat bagus, kita harus jaga momentum ini. Mudah-mudahan ke depan akan makin bagus,” kata Kepala BPS Suharyanto saat konferensi pers pengumuman ekspor-impor Januari 2017 di kantornya, Jakarta, Kamis (16/2).
Nilai ekspor Indonesia Januari 2017 mencapai US$13,38 miliar atau menurun 3,21 persen dibanding ekspor Desember 2016. Sementara dibanding Januari 2016 meningkat 27,71 persen. “Untuk Januari terjadi sedikit penurunan dibandingkan Desember itu akibat siklus musiman, secara umum kondisinya baik,” katanya.
Penurunan terbesar ekspor nonmigas Januari 2017 terhadap Desember 2016 terjadi pada bijih, kerak, dan abu logam sebesar US$121,3 juta (27,56 persen), sedangkan peningkatan terbesar terjadi pada karet dan barang dari karet sebesar US$60,0 juta (10,55 persen).
(baca juga: Jaga Momentum Pertumbuhan, Indonesia Dorong Ekspor Sawit ke Pakistan)
Menurut sektor, ekspor nonmigas hasil industri pengolahan Januari 2017 naik 26,27 persen dibanding bulan yang sama tahun 2016, demikian juga ekspor hasil pertanian naik 11,67 persen dan ekspor hasil tambang dan lainnya naik 50,37 persen.
Sementara ekspor migas mengalami kenaikan sebesar 1,72 persen, yaitu dari US$ 1,25 miliar ke US$ 1,27 miliar. Kenaikan disebabkan oleh meningkatnya ekspor hasil minyak sebesar 49,10 persen menjadi US$163,8 juta dan gas sebesar 4,47 persen ,menjadi US$ 727,5 juta.
Kenaikan harga minyak mentah Indonesia di pasar dunia cukup berkontribusi terhadap peningkatan nilai ekspor. “Ekspor Januari 2017 menunjukkan perbaikan yang lumayan signifikan, salah satunya karena kenaikan harga komoditas,” katanya.
(baca juga: Bertemu Dubes AS, Menperin Ingin Tekstil Indonesia Bebas Bea Masuk)
Suharyanto mengatakan pada bulan Januari 2017 terjadi pergeseran pangsa ekspor nonmigas Indonesia. Ekspor nonmigas ke Cina mencapai pangsa 12,80 persen sebesar US$ 1,55 miliar, diikuti Amerika Serikat sebesar 11,77 persen atau US$ 1,42 miliar. Sementara ekspor ke India menggeser Jepang di posisi ketiga sebesar 10,89 persen atau US$ 1,31 miliar.
Negara | Januari-Desember 2016 (US$) | Desember 2016 (US$) | Januari 2017 (US$) |
Cina | 15,11 miliar | 1,87 miliar | 1,55 miliar |
Amerika Serikat | 15,68 miliar | 1,45 miliar | 1,42 miliar |
Jepang | 13,21 miliar | 1,24 miliar | 1,31 miliar |
India | 9,92 miliar | 923,2 juta | 1,11 miliar |
Khusus India kenaikan signifikan terjadi pada ekspor CPO yang mencapai 187 persen. “Kenaikan ekspor CPO ke India disebabkan oleh peningkatan jumlah stok yang dilakukan India untuk mengantisipasi kenaikan harga CPO yang lebih tinggi,” kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Sasmito Hadi Wibowo.
Dari sisi impor selama Januari 2017 mencapai US$ 11,99 miliar, dibandingkan dengan nilai impor pada Januari 2016 nilai ini mengalami kenaikan sebesar 14,54 persen. Namun nilai ini lebih rendah dibanding Januari 2015 yang sebesar US$ 12,61 miliar. Sementara jika dibandingkan dengan bulan Desember 2016 nilai impor mengalami penurunan sebesar 6,21 persen.
Berdasarkan catatan BPS, pada Januari 2017 impor non migas mengalami kenaikan sebesar 10,12 persen. Sementara, komoditas impor yang paling besar adalah impor mesin dan pesawat mekanik senilai US$ 1,74 miliar dan mesin peralatan listrik senilaiu US$ 1,36 miliar.
(Baca juga: Sri Mulyani Minta Eksportir Lirik Pasar Negara Berkembang)
Berdasarkan jenis barang, impor didominasi oleh bahan baku atau penolong sebesar 75 persen, barang modal 16 persen dan barang konsumsi 8,39 persen. “Kenaikan impor itu terjadi pada impor bahan baku atau penolong. Kalau ini terjadi akan menggerakkan sektor industri kita. Barang modalnya juga naik 6,04 persen, disisi lain barang konsumsi turun jadi -13,39 persen,” kata Suharyanto.
Sementara pangsa impor Indonesia tidak mengalami perubahan. Impor didominasi oleh Cina sebesar 28,70 persen. Diikuti Jepang 10,10 persen dan Thailand 6,42 persen, sementara ASEAN mencapai 19,56 persen dan Uni Eropa 9,59 persen.