Aneka Risiko Ekonomi Mengancam, BI Tahan Suku Bunga Acuan

Miftah Ardhian
16 Februari 2017, 20:54
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo
ARIEF KAMALUDIN | KATADATA

Bank Indonesia (BI) kembali menahan suku bunga acuan BI 7-Day Repo Rate di level 4,75 persen. Jadi, suku bunga acuan telah bertahan selama empat bulan terakhir atau sejak Oktober tahun lalu. Keputusan tersebut bisa mendukung upaya BI menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, serta mendukung momentum pemulihan ekonomi domestik. 

Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, selain memertahankan suku bunga acuan, BI juga menjangkar suku bunga fasilitas simpanan (deposit facility) dan fasilitas pinjaman (lending facility) BI, masing-masing di level 4 persen dan 5,5 persen. Keputusan menahan bunga acuan juga dengan mempertimbangkan sejumlah risiko ke depan.

“BI tetap mewaspadai sejumlah risiko, baik yang bersumber dari global terutama terkait arah kebijakan AS dan risiko geopolitik di Eropa, maupun dari dalam negeri terutama terkait dengan dampak penyesuaian administered prices terhadap inflasi,” ujar Agus saat konferensi pers usai Rapat Dewan Gubernur BI di Gedung BI, Jakarta, Kamis (16/2). 

Ia menuturkan, sepanjang 2016 hingga awal 2017 ini, perekonomian dunia sebenarnya terus mengalami perbaikan, terutama didukung oleh membaiknya perekonomian Amerika Serikat (AS) dan Cina, serta diikuti oleh kenaikan harga komoditas global. Namun, sejumlah risiko global tetap perlu diwaspadai.

Rencana ekspansi kebijakan fiskal pemerintah AS ditengah sinyal pengetatan kebijakan moneter, menurut dia, dapat mendorong penguatan mata uang AS dan penyesuaian segera bunga dana AS. Selain itu, rencana relaksasi regulasi sektor keuangan di AS dapat meningkatkan risiko stabilitas sistem keuangan global.

Selain itu, kecenderungan kebijakan proteksionis perdagangan AS, disetujuinya “Hard Brexit” oleh Parlemen Inggris serta risiko geopolitik di Eropa juga dapat menurunkan volume perdagangan dunia dan menambah ketidakpastian global. (Baca juga: Ketidakpastian Global, Pengusaha Garap Pasar Timur Tengah dan Afrika)

Dari dalam negeri, BI juga masih mewaspadai risiko inflasi dari kenaikan harga-harga yang diatur pemerintah (administered prices). "Jadi ruang untuk pelonggaran moneter pada tahun ini tidak terlalu besar," ujar Agus. 

Ia menjelaskan, inflasi bulanan Januari 2017 tercatat sebesar 0,97 persen, lebih tinggi dari bulan sebelumnya sebesar 0,42 persen. Kenaikan inflasi tersebut terutama disumbang oleh kelompok administered prices dan kelompok inti.

Inflasi administered prices didorong oleh kenaikan biaya administrasi perpanjangan surat kendaraan bermotor, tarif listrik, dan Bahan Bakar Khusus (BBK). Sedangkan inflasi inti meningkat meski masih terkendali yaitu sebesar 0,56 persen secara bulanan atau 3,35 persen secara tahunan.

Ke depan, kata dia, BI akan terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah dalam mengendalikan inflasi terutama dalam menghadapi risiko terkait penyesuaian administered prices dan risiko kenaikan harga pangan bergejolak. Dengan langkah-langkah tersebut, inflasi 2017 diprakirakan akan tetap berada pada sasaran 3-5 persen.

(Baca juga: Konsumen Prediksi Tekanan Kenaikan Harga Hingga Juli 2017)

Meski ada sederet risiko ke depan, Agus menjelaskan, perekonomian Indonesia relatif membaik. Sepanjang 2016 lalu, pertumbuhan ekonomi berhasil mencapai 5,02 persen atau melebihi pencapaian di 2015 yang sebesar 4,88 persen. Hal tersebut ditopang oleh konsumsi swasta yang masih tumbuh kuat, peningkatan konsumsi pemerintah serta perbaikan investasi baik swasta maupun pemerintah.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...