Tekan Freeport, Pemerintah Bisa Gunakan Isu Pencemaran Lingkungan
Organisasi nonpemerintah, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) ikut memberi masukan kepada pemerintah terkait masalah PT Freeport Indonesia yang mengancam melakukan gugatan arbitrase. Untuk menekan perusahaan asal Amerika Serikat itu, pemerintah bisa menggunakan isu pencemaran lingkungan.
Kepala Kampanye JATAM Melky Nahar mengatakan sejak 1988, limbah tailing (residu tambang) Freeport telah mencemari sekitar 1.600 hektar kawasan sekitar tambang. Bahkan, hingga tahun lalu jumlah limbahnya di kawasan tersebut telah mencapai milyaran ton. (Baca: Mulai Proses Arbitrase, Bos Freeport: Pemerintah Langgar Kontrak)
Pencemaran lingkungan ini telah membuat kerugian bagi negara dan membuat tanah ulayat menjadi korban. "Freeport perlu juga dihajar ini," kata dia dalam acara diskusi "Ke mana Arah Minerba ke Depan" di Jakarta, Selasa (21/2).
Menurut Melky, isu lingkungan ini bisa menghadapi beberapa isu yang dilempar Freeport untuk menekan pemerintah, seperti pemecatan karyawan, penghentian kegiatan operasi dan arbitrase internasional. Apalagi, Freeport hingga kini juga belum menyelesaikan perpajakan terkait penggunaan air permukaan sungai. (Baca: Pemprov Papua Tagih Tunggakan Pajak Freeport Rp 3,4 Triliun)
Seperti diberitakan sebelumnya, Pemerintah Provinsi Papua menagih tunggakan pajak Freeport Indonesia selama kurun waktu 2011-2015 beserta dendanya. Nilainya mencapai Rp 3,4 triliun.
Setoran Freeport Indonesia ke Pemerintah Periode 2005-2015
Gubernur Papua Lukas Enembe pernah mengatakan, Freeport menunggak pajak penggunaan air permukaan selama kurun waktu empat tahun. Pengenaan pajak ini karena Freeport memakai air di Sungai Ajkwa di Papua untuk menahan endapan tailing. (Baca: Jokowi Serahkan Persoalan Freeport kepada Jonan)
Tarif pajak yang harus ditanggung Freeport sebesar Rp 120 per meter kubik per detik untuk setiap air yang digunakan. Ketentuan tersebut mengacu Peraturan Pemerintah Daerah Provinsi Papua Nomor 4 Tahun 2011, tentang pajak daerah.