Lelang Blok Migas Tak Laku Bukan Gara-Gara Harga Minyak Rendah
Pelaku usaha hulu minyak dan gas bumi (migas) menilai sepinya lelang blok migas di Indonesia tidak semata-mata dipengaruhi harga minyak dunia yang rendah. Buktinya lelang blok migas di Meksiko masih laku dan banyak peminatnya.
Presiden PT Energi Pasir Hitam Indonesia (Ephindo) Sammy Hamzah mengatakan penyebab lelang blok migas di Indonesia kurang laku, karena pemerintah tidak menawarkan hal yang menarik untuk investor. Dia menyebutkan salah satu besaran bagi hasil masih rendah dan tidak ekonomis. Belum lagi, ada beberapa regulasi di pemerintah yang menjadi disinsentif bagi investor.
(Baca: Asosiasi Migas Nilai Beleid Cost Recovery 2010 Biang Lesunya Investasi)
Berbeda halnya dengan yang dilakukan oleh pemerintah Meksiko. “Mereka (Meksiko) benar-benar memberikan tawaran yang menarik bagi investor, dibandingkan dengan sistem kita yang sekarang belum atraktif," kata dia di Jakarta, Rabu (9/3).
Sebenarnya ketika harga minyak jatuh, pada pertengahan 2014, lelang blok migas di Meksiko juga sepi peminat. Pada Desember 2014, negara ini melelang 14 blok migas untuk kategori laut dangkal (shallow water). Saat itu hanya dua kontraktor yang ikut lelang ini. Sejak saat itu, pemerintah Meksiko terus melakukan perbaikan dalam lelang blok migas ini. Hasilnya banyak kontraktor yang berminat menggarap blok migas di negara tersebut, meski harga minyak masih rendah.
(Baca: Setahun Terakhir, Pemerintah Gagal Gaet Investor Garap Blok Migas)
Hasil riset S&P Global Ratings berjudul Key Takeaways From Mexico's First Oil Auction yang dirilis 9 Desember 2016, menjelaskan ada beberapa faktor yang menyebabkan lelang blok migas di Meksiko sepi saat 2014. Selain harga minyak dunia rendah, faktor lainnya adalah luas blok yang kecil, pembatasan perusahaan untuk bermitra dalam satu konsorsium, serta adanya uang jaminan yang dianggap terlalu besar, yakni US$ 6 miliar.
Pada Desember 2014, harga minyak dunia jenis Brent sempat berada di kisaran US$ 55 sampai 75 per barel. Anjlok cukup tajam dibandingkan harga bulan Juni 2014, yang mencapai US$ 100 per barel.
Rendahnya peminat lelang akhir 2014, menjadi pelajaran bagi pemerintah Meksiko. Februari 2015, negara di Amerika Tengah ini kembali melelang lima blok migas laut dangkal. Hasilnya tiga blok yang dilelang ini laku. Lelang berikutnya Mei 2015, 25 blok migas darat (onshore) yang dilelang, semuanya laku.
Tujuh bulan kemudian Meksiko kembali melakukan lelang untuk blok migas laut dalam (offshore). Peminatnya juga lumayan, lebih dari 50 persen blok migas yang ditawarkan laku. Dari 10 blok migas yang ditawarkan, delapan diantaranya laku. Bahkan, pemenangnya merupakan perusahaan migas kelas kakap seperti ExxonMobil Corp., BP Plc, Total SA, Chevron Corp., dan China National Offshore Oil Corp. Padahal berdasarkan data OPEC, harga minyak sepanjang 2015 hanya berada dikisaran US$ 50 per barel.
Kondisi ini berbeda dengan lelang yang dilakukan di Indonesia. Sejak tahun 2014, lelang blok migas di Indonesia sepi peminat. Dari 21 blok migas yang dilelang pada 2014, hanya ada 11 blok yang laku. Tahun berikutnya, dari delapan blok yang dilelang tidak ada satu pun yang laku.
Rendahnya ketertarikan investor mengikuti lelang di Indonesia terus berlanjut. Tahun lalu lelang 17 blok migas konvensional dan nonkonvensional juga minim peminat. Untuk tiga blok nonkonvensional yang ditawarkan, tidak ada satu pun yang laku. Sedangkan 14 blok migas konvensional lainnya, hanya mendapat satu pemenang. Padahal, pemerintah sudah berupaya membuat lelang tahun lalu lebih menarik.
(Baca: Sudah Ubah Skema, Lelang Blok Migas 2016 Tetap Memprihatinkan)
Menteri ESDM Ignasius Jonan masih menganggap penyebab lelang blok migas di Indonesia tidak laku, adalah harga minyak dunia yang rendah. "Kalau harga minyak masih di bawah US$ 50 per barel kayak tempo hari, pasti tidak ada yang minat," kata Jonan.
Sementara Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) I.G.N Wiratmaja mengakui salah satu penyebab lelang tersebut tidak laku adalah regulasi di Indonesia tidak menarik bagi investor. Makanya saat ini pemerintah tengah merevisi beberapa aturan yang dinilai menghambat, seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2010.
Selain itu, pemerintah juga menawarkan skema kontrak kerja sama migas yang baru yakni gross split. Skema kerja sama tanpa cost recovery (penggantian biaya operasional) ini diharapkan mampu mempermudah proses bisnis hulu migas dan membuat investor lebih efisien. Skema ini rencananya akan ditawarkan pada lelang berikutnya, pada Mei 2017.
Sammy mengatakan pemerintah memang telah mengubah sistem lelang pada tahun, dengan membebaskan kontraktor menawar besaran bagi hasil dan bonus tanda tangan. Namun, dia menganggap hal ini masih kurang menarik bagi investor. Alasannya, perhitungan ditawarkan pemerintah, tidak lebih dari diterima kontraktor pada skema sebelumnya.
"Secara matematis dan keekonomian, apa yang ditawarkan pemerintah itu tidak lebih baik daripada apa yang ditawarkan sebelumnya," kata Sammy. Agar investor tertarik, dia mengusulkan agar pemerintah memberikan tingkat pengembalian investasi (IRR) yang lebih ekonomis.
Untuk lelang tahun ini, Sammy berharap pemerintah tidak hanya menawarkan skema gross split. Pemerintah juga harus membuka opsi bagi kontraktor menggunakan skema kerja lain dengan tetap menggunakan cost recovery. Dengan adanya dua opsi kerja sama maka kontraktor memiliki pilihan. "Nanti dari situ kan pemerintah bisa tes, yang mana yang lebih menarik bagi investor," kata Sammy.
(Baca: Riset Terbaru, Skema Gross Split Migas Tak Menarik bagi Investor)