BI Pantau Likuiditas Bank Aman meski Banjir Surat Utang
Likuiditas perbankan terancam mengetat pada awal tahun ini. Penyebabnya beragam, mulai dari kebijakan pemerintah mengubah mekanisme penyaluran Dana Bagi Hasil (DBH) hingga langkah pemerintah mencari pendanaan lebih dini lewat penerbitan surat utang.
Pemerintah sudah menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) valuta asing (valas) sebesar US$ 3,5 miliar atau setara Rp 47 triliun sebagai pembiayaan anggaran lebih dini (pre-funding) pada akhir tahun lalu. Meski begitu, Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW. Martowardojo menekankan, likuiditas perbankan saat ini masih dalam kondisi positif.
Rasio likuiditas perbankan atau pinjaman terhadap simpanan (Loan to Deposit Ratio/LDR) secara industri masih berkisar 91 persen. Selain itu, rasio alat likuid dibagi dengan noncore deposit (NCD) rata-rata di atas batas minimum 50 persen. NCD merupakan komponen dana pihak ketiga di bank umum yang jatuh tempo sampai dengan tiga bulan.
(Baca: Likuiditas Terancam Ketat, BPD Didorong Terbitkan Obligasi)
Namun, rasio likuiditas terhadap Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan di atas 8,5 persen. Besarannya di bawah batas bawah sebesar 10 persen. Hal ini menunjukkan cadangan bank dalam bentuk surat berharga belum cukup kuat untuk menutupi dana jangka pendek jika nasabah menarik simpanannya.
Di sisi lain, penempatan dana bank di BI tercatat masih besar. “Kalau kami tahu penempatan dana bank di BI Rp 350 triliun lebih, jadi dalam keadaan cukup likuiditasnya,” kata Agus di Kompleks Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (10/3).
Sebelumnya, Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan melihat kondisi likuiditas bank di awal tahun ini masih lebih baik dibandingkan tahun lalu. Tapi, upaya pemerintah mencari pembiayaan untuk belanja di awal tahun (ijon) akan menggerus likuiditas perbankan.
LDR saat ini memang masih baik di level 90 persen. Namun ada risiko yang bisa menggerus dana bank akibat minimnya penerimaan pemerintah sehingga menerbitkan banyak surat utang (obligasi). Hal ini tentu bisa menguras likuiditas dana di bank.
(Baca: Jaga Likuiditas Bank, BI Buat Aturan Keringanan Dividen)
Sementara itu, Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK) tidak mengatur secara terang penanganan likuiditas. UU itu hanya memuat persoalan solvabilitas bank.
Persoalan lain yang menghimpit likuiditas bank adalah kebijakan pemerintah mengalihkan penyaluran Dana Bagi Hasil (DBH) lewat Bank Pembangunan Daerah (BPD) menjadi dalam bentuk surat utang. Padahal, biasanya pemerintah daerah (pemda) mengambil dananya di perbankan untuk membiayai infrastruktur di akhir tahun. Akibatnya, BPD bakal kewalahan memenuhi pendanaan dari pemda.
Melihat kondisi ini, Anton justru lebih khawatir pada persoalan likuiditas daripada solvabilitas perbankan seperti peningkatan kredit bermasalah (NPL). “Persoalan likuiditas kelihatannya tidak ada dana khusus untuk liquidity injection. Sudah tidak bisa apa-apa lagi untuk dijadikan jaminan. Itu salah satu titik lemahnya UU PPKSK.”
BI sebenarnya sudah berupaya mendeteksi kondisi likuiditas perbankan. Caranya mengubah metode lelang instrumen operasi pasar terbuka dari penetapan suku bunga oleh otoritas (fixed rate tender) menjadi sesuai hasil lelang oleh pelaku pasar (variable rate tender).
Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Doddy Zulferdi mengatakan, melalui metode ini, bank bisa langsung menawarkan bunga setelah BI mengumumkan lelang yang sesuai dengan kondisi likuiditasnya ataupun biaya dananya. Semakin banyak likuiditas, maka semakin rendah bunga yang ditawarkan bank yang bersangkutan.
Alhasil, BI bisa mengetahui kondisi likuiditas di masing-masing bank. Selanjutnya, BI bisa menetapkan kebijakan operasi moneter untuk meningkatkan atau mengurangi likuiditas dalam rangka menjaga nilai tukar rupiah dan inflasi.
“Bisa mendapat informasi feedback dari bank, mengenai kondisi likuiditasnya dari suku bunga yang mereka tawarkan. Kalau likuiditas ketat sementara suku bunga masih ketat, BI bisa memperlonggar operasi moneter,” ujar Doddy.