BUMN Siap Ambil Saham Freeport, Kontraknya Pasti Diperpanjang
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merasa yakin perusahaan induk (holding) BUMN sektor pertambangan yang akan terbentuk, mampu mengambil alih 51 persen saham divestasi PT Freeport Indonesia. Saat ini, pemerintah telah memiliki 9,36 persen saham di perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut.
Menteri BUMN Rini Soemarno mengatakan holding BUMN pertambangan ini masih dalam proses pembentukan. "Ini semua kan masih proses. Tapi kalau kami sudah diberi tugas, BUMN kita mampu lah," ujar Rini saat ditemui di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta, Jumat (10/3).
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM) telah membentuk tim khusus untuk menghitung valuasi saham Freeport. Jadi, Rini belum bisa memastikan jumlah dana yang dibutuhkan untuk membeli saham divestasi Freeport. Yang jelas, dia optimistis holding BUMN tambang dan sinergi antarBUMN akan mampu mendanai pembelian saham Freeport.
(Baca: Inalum Lebih Siap Ambil Freeport setelah Holding BUMN Terbentuk)
Memang, perhitungan valuasi saham ini juga masih menjadi perdebatan. Akhir 2015 lalu Freeport pernah menawarkan 10,64 persen sahamnya ke pemerintah senilai US$ 1,7 miliar. Sementara pemerintah menganggap harga ini sangat mahal. Perhitungan Kementerian ESDM hanya US$ 630 juta. Pelepasan saham Freeport tersebut akhirnya urung dilakukan. Sekarang pemerintah menaikkan persentase kewajiban divestasi saham Freeport menjadi 51 persen.
Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno mengatakan pemerintah masih harus mengambil alih 41,64 persen sisa saham Freeport yang wajib didivestasikan. Dia juga yakin sinergi BUMN, akan mampu membiayai pembelian saham Freeport ini. Dia mencontohkan perusahaan lokal PT Medco Energi Internasional Tbk dan Amman yang mampu mengakuisisi seluruh saham tambang raksasa PT Newmont Nusa Tenggara.
Selain holding BUMN pertambangan, dana untuk membeli saham Freeport bisa juga mengandalkan BUMN perbankan. Dukungan skema pinjaman dari bank-bank BUMN akan mampu membiayai holding BUMN pertambangan mengakuisisi 41,64 persen sisa saham divestasi Freeport Indonesia. (Baca: Tiga Skema Pembelian Saham Freeport oleh Holding BUMN Tambang)
Jika masih kurang, ada skema pembiayaan lain yang bisa dilakukan. Holding BUMN pertambangan bisa menerbitkan surat utang (obligasi) dengan nilai yang tinggi. Kementerian BUMN juga dapat menyiapkan skema sekuritisasi aset holding pertambangan. Jika pun nilai sekuritisasi tidak terlalu besar, masih ada BUMN sektor lainnya yang siap membantu membeli divestasi saham Freeport.
"Jadi kalau soal mampu, ya mampu banget. Kalau dibilang mampu secara keuangan, ya sebenarnya harusnya sudah tidak ada pertanyaan itu," ujar Harry. (Baca: Masyarakat Adat Papua Inginkan 10-20 Persen Saham Freeport)
Pertanyaan lain yang sering muncul adalah kemampuan BUMN mengelola pertambangan tersebut. Menurutnya, pemerintah hanya akan mengambil alih kepemilikan sahamnya. Sementara pengelolaan, manajemen, pekerja, peralatan dan hal lain yang terkait operasional tambangnya tidak berubah. Secara keseluruhan Freeport Amerika dan investor asing masih memiliki 49 persen saham Freeport Indonesia.
Dengan penjelasan ini, Hary memastikan Freeport tidak akan hengkang dari Indonesia saat masa kontrak karyanya telah berakhir di tahun 2021. Menurutnya, hal tersebut merupakan situasi yang wajar dimana banyak juga perusahaan-perusahaan asing yang melakukan operasinya di Indonesia.
"Bodoh tidak pemerintah, kalau sudah ambil 51 persen terus kontraknya habis 2021? Ini kan bukan untuk mematikan perusahaan. Yang habis 2021 itu kan Kontrak Karya, kalau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) tidak habis-habis. Yang penting kita (indonesia) mayoritas," ujarnya. (Baca: Divestasi Perusahaan Tambang Lewat Bursa Jadi Opsi Terakhir)
Sebelumnya, Juru Bicara Gerakan Solidaritas Peduli Freeport (GSPF) Virgo Solossa mengatakan para pekerja meragukan kemampuan pemerintah membeli 51 persen saham dan pengelolaan tambang Freeport. Mereka menganggap pemerintah tidak memiliki dana yang besar dan kemampuan teknis dalam mengelola tambang.
"Beli 10,64 persen saham saja tidak mampu kok, kenapa memaksakan sampai 51 persen sekarang. Lalu, lahan di Papua itu tidak mudah ditaklukan, butuh modal besar," ujar Virgo saat ditemui di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Jakarta, Kamis (9/3).