Biaya Produksi 48 Kontraktor Migas Mahal, tapi Hasilnya Sedikit
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar menyebutkan sebanyak 48 Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) memiliki biaya produksi lebih besar ketimbang 20 KKKS lainnya. Sebaliknya hasil produksi 20 KKKS ini jauh lebih besar dibandingkan 48 KKKS yang biaya produksinya mahal.
Arcandra menjelaskan saat ini ada sebanyak 68 KKKS yang beroperasi di Indonesia. Dari jumlah tersebut, hanya 20 KKKS besar yang menopang 90 persen produksi migas dalam negeri. Sisanya sebanyak 48 KKKS merupakan kontraktor kecil yang kontribusinya hanya 10 persen terhadap produksi nasional.
Biaya produksi yang dikeluarkan 20 KKKS besar ini rata-rata sekitar US$ 19,27 per barel. Lebih rendah 16,2 persen dibandingkan 48 KKKS lainnya yang rata-rata memiliki biaya produksi sebesar US$ 23 per barel.
''Kalau dlihat lagi, yang kecil-kecil ini dinamakan KKKS yang produksinya sangat kecil,'' kata dia dalam seminar nasional "Migas Goes to Campus" di Universitas Trisakti, Jakarta, Jumat (17/3). (Baca: Kementerian ESDM Buat Aturan Pacu Produksi Migas dengan Teknologi)
Akibatnya saat ini pemerintah menghadapi masalah terkait minimnya produksi dan tingginya biaya penggantian operasi migas (cost recovery) yang harus ditanggung negara. Produksi siap jual (lifting) migas terus mengalami penurunan setiap tahun.
Menurut Arcandra, hal inilah yang mendasari pemerintah memutuskan penerapan skema gross split pada kontrak kerjasama migas baru. Skema kerja sama tanpa cost recovery ini, diharapkan bisa menjawab masalah produktivitas migas di Indonesia.
Sebagai gambaran, dengan skema gross split perhitungan bagi hasilnya terdiri dari tiga indikator, yakni komponen dasar, komponen variabel, dan komponen progresif. Komponen variabel dan progresif ini bisa menambah dan mengurangi komponen dasar.
Besaran komponen dasar untuk bagi hasil minyak bumi adalah 57 persen untuk negara, sedangkan 43 persen menjadi bagian kontraktor. Sedangkan untuk gas, negara memperoleh 52 persen dan sisanya kontraktor. (Baca: Dianggap Tak Menarik, Lelang Migas Tetap Pakai Skema Gross Split)
Menurut Arcandra, selama ini Indonesia lebih banyak melakukan produksi dari pada melakukan penemuan cadangan. Produksinya dua kali lebih banyak dari cadangan migas baru. Akibatnya reserve replacement ratio (RRR ) atau rasio cadangan pengganti migas baru pun menjadi minim.
Arcandra juga menganggap skema gross split bisa membantu menggenjot kegiatan eksplorasi migas. Apalagi menurut dia, kegiatan eksplorasi di Indonesia masih kalah dari India, Australia, Vietnam dan juga Malaysia. "Vietnam lagi giat-giatnya melakukan eksplorasi," kata dia.
Dia berharap dengan gross split, KKKS bisa semakin masif melakukan kegiatan eksplorasi. Sebab dalam penerapannya, KKKS dapat mengendalikan biaya operasinya secara mandiri dan proses bisnisnya menjadi lebih cepat. (Baca: Kontraktor Migas Keluhkan Balik Modal Skema Gross Split Lebih Lama)
Di sisi lain, Kementerian ESDM tengah merivisi aturan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang kegiatan usaha hulu migas. Dengan aturan itu, maka jika kontraktor gagal melakukan eksplorasi di suatu lapangan migas, maka kontraktor bisa memiliki peralatan yang sudah dibelinya. Mereka cukup membayar bea masuk kepada pemerintah atas impor peralatan tersebut.