Negosiasi Masih Buntu, Freeport Belum Mau Ubah Kontrak Karya
Hampir genap dua pekan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menggelar proses negosiasi perubahan status kontrak pertambangan PT Freeport Indonesia Namun, hingga kini negosiasi sejak 8 Maret lalu tersebut masih belum menemukan titik temu.
Menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gator Ariyono, sampai saat ini Freeport keberatan dengan syarat perubahan Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Ia pun mulai pesimistis dengan jalannya proses negosiasi.
“Kalau caranya seperti ini gak selesai, sama kayak dulu-dulu,'' kata dia dalam diskusi bertajuk ''Bagaimana Nasib KK Freeport?'' di Jakarta, Senin (20/3). (Baca: Turun Separuh, Pemprov Papua Minta 5 Persen Saham Freeport)
Bambang mengatakan, pemerintah sebenarnya sudah memberikan jalan kepada Freeport agar bisa mengekspor hasil tambang dengan syarat KK menjadi IUPK. Jika tidak berubah, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, Freeport harus membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) terlebih dahulu untuk bisa ekspor.
Pemerintah juga memberikan masa transisi selama enam bulan kepada Freeport untuk memakai IUPK. Selama masa transisi itu perusahaan tambang asal Amerika Serikat ini dapat kembali menjadi KK jika tidak berkenan dengan IUPK.
Bambang mengakui, tidak semua permintaan Freeport harus dipenuhi. Namun, sikap Freeport yang menjadikan kebijakan pemerintah sebagai alasan memecat karyawannya juga tidak benar. Apalagi saat ini masih dalam proses perundingan.
Freeport juga tidak perlu khawatir dengan masalah pajak yang ada dalam IUPK. Dalam pasal tersebut, menurut Bambang, pungutan pajak tidak akan memberatkan perusahaan.
Pemerintah hanya menginginkan agar penerimaan negara melalui pajak dari Freeport meningkat. Apalagi, Freeport telah beroperasi di Indonesia lebih dari 40 tahun. ''Tidak mungkin perusahaan dibangkrutkan oleh pemerintah,'' kata dia.
Seperti diketahui, Freeport menginginkan pemungutan perpajakan dalam IUPK menggunakan sistem nail down. Artinya sepanjang masa berlaku izin, perusahaan tidak dipungut pajak selain yang ada di kesepakatan awal. Sementara pada sistem IUPK adalah prevailing. Jadi, pajak bisa berubah mengikuti aturan yang ada.
Selain itu, Freeport meminta adanya jaminan investasi. Namun, menurut Bambang, selama ini belum ada perusahaan yang secara khusus meminta adanya stabilitas investasi dalam operasi perusahaannya. (Baca: Panggil Manajemen Freeport, Wiranto Bahas Dampak Keamanan)
Bahkan, dia mencontohkan, PT Amman Mineral Nusa Tenggara bersedia mengubah kontrak dan tetap melakukan investasi hingga mencapai US$9 miliar lebih. Dana ini untuk mengembangkan wilayah tambang di Nusa Tenggara Timur, termasuk mengembangkan pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) di Sumbawa, NTT dengan kapasitas 1-1,5 juta ton.
Tak hanya itu, Amman rela kehilangan 41 ribu hektare lahan wilayah tambangnya karena berubah status menjadi IUPK. ''Investment stability saya tidak yakin di luar negeri ada khusus untuk industri tertentu, '' kata dia.
Mengenai kewajiban divestasi saham sebesar 51 persen, menurut Bambang, hal itu sudah diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2017. Jadi, Freeport tidak bisa menawar lagi. Alhasil, jika tidak mencapai kesepakatan dalam enam bulan ini, pemerintah pun siap ke arbitrase. ''Silakan,'' kata dia.
(Baca: Wapres Amerika Serikat Akan Temui Jokowi, Bahas Freeport?)
Di tempat yang sama, Senior Vice President Geo Engineering Freeport Wahyu Sunyoto berharap pemerintah dan perusahaannya tidak sampai maju ke arbitrase internasional. ''Kami manfaatkan untuk waktu enam bulan ini cari solusi terbaik,'' kata dia.