Ditjen Pajak Bidik Rp 4.000 Triliun Harta di Luar Negeri Lewat AEoI
Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) bakal memanfaatkan program pertukaran data secara otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI) antarnegara untuk memburu penerimaan pajak di tahun-tahun mendatang. Pasalnya, ada potensi penerimaan pajak yang besar dari harta yang disembunyikan orang Indonesia di luar negeri.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama menyebut, harta wajib pajak di luar negeri diperkirakan mencapai Rp 4 ribu triliun. Sedangkan, total harta luar negeri yang dilaporkan wajib pajak melalui program amnesti pajak (tax amnesty) baru sekitar 29,2 persennya yaitu sebesar Rp 1.167 triliun.
“Nanti kami lihat. Potensi (harta) wajib pajak Indonesia di luar negeri kan banyak, hampir Rp 4 ribu triliun. Yang ikut (amnesti pajak) baru Rp 1.200 triliunan,” kata dia kepada Katadata, Selasa (21/3). (Baca juga: Tax Amnesty Tinggal 10 Hari Lagi, Wajib Pajak Kakap Masih Ditunggu)
Secara rinci, dari total Rp 1.167 triliun harta yang dilaporkan wajib pajak dalam amnesti pajak, sebesar Rp 1.022 triliun merupakan harta deklarasi, sedangkan sisanya sebesar Rp 145 triliun merupakah harta repatriasi atau yang dipulangkan ke dalam negeri.
Adapun, untuk mendukung pelaksanaan AEoI pada 2018, pemerintah tengah memersiapkan sejumlah aturan pendukung. Saat ini, pemerintah sedang merampungkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk memberikan akses kepada Ditjen Pajak terhadap data keuangan nasabah asing. Selanjutnya, pemerintah juga berencana merevisi sejumlah undang-undang untuk bisa membuka akses Ditjen Pajak terhadap data nasabah lokal.
Sembari menunggu Perppu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun sudah meneken Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 39/PMK.03/2017 yang adalah revisi PMK Nomor 125/PMK.10/2015 tentang tata cara pertukaran informasi mengenai nasabah asing. (Baca juga: Aturan Terbit, Data Nasabah Asing Mulai Disetor ke Ditjen Pajak)
Melalui PMK tersebut, pemerintah mewajibkan lembaga jasa keuangan untuk memberikan informasi keuangan nasabah asing secara periodik kepada Ditjen Pajak. Lembaga jasa keuangan yang dimaksud yaitu bank, asuransi, pasar modal, dana pensiun, perusahaan pembiayaan, dan jasa keuangan lainnya.
Nantinya, Ditjen Pajak bakal menukarkan data ini dengan data nasabah Indonesia yang dimiliki otoritas pajak di negara lain. (Baca juga: Data Bank Siap Dibuka, Jokowi Beri Peringatan Terakhir Tax Amnesty)
Yoga pun menekankan, institusinya akan serius melakukan penindakan setelah program amnesti pajak berakhir pada 31 Maret mendatang. Pihaknya akan memberlakukan sanksi tegas bila menemukan adanya wajib pajak yang belum melaporkan hartanya dalam surat pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak.
“Kalau belum (melaporkan seluruh hartanya), kami eksekusi sesuai Pasal 18 (Undang-Undang Amnesti Pajak). Kami tunggu sampai 31 Maret, mereka ikut amnesti pajak atau tidak? Nanti kami cek datanya valid dan jelas atau tidak?” ujar Yoga. Sesuai Pasal 18, Ditjen Pajak bakal mengenakan sanksi sebesar 200 persen atas harta yang belum dilaporkan dalam surat pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak.
Untuk mendukung upaya penindakan, Ditjen Pajak berencana menambah jumlah petugas pemeriksa dari saat ini 4.845 orang menjadi menjadi 10 ribuan orang dalam tiga tahun ke depan. Untuk merealisasikan rencana itu, Ditjen Pajak bakal menugaskan para account representative (AR) untuk ikut memeriksa. Selama ini, AR hanya bertugas memberikan imbauan kepada wajib pajak.