Sambil Menangis Cabut BAP Kasus e-KTP, Anggota DPR: Saya Diancam
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Miryam S. Haryani, menangis di ruang sidang pengadilan kasus dugaan korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Dihadirkan sebagai saksi oleh jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), politisi dari Partai Hanura tersebut juga membantah dan mencabut pengakuan sebelumnya di dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
Awalnya, majelis hakim yang dipimpin Jhon Halasan Butar-Butar menanyakan peran Miriam dalam kasus dugaan korupsi yang menyeret nama Ketua DPR Setya Novanto dan puluhan anggota DPR lainnya tersebut. Beberapa di antaranya seperti dugaan pembagian uang yang dilakukan oleh Miryam, lalu duit yang diterimanya dari kasus itu.
Menerima pertanyaan tersebut, Miryam mendadak menangis. Ia pun mengaku, BAP tersebut dibuat dalam kondisi tertekan oleh pertanyaan-pertanyaan dari penyidik KPK. Kepada majelis hakim, Miryam mengatakan adanya ancaman secara fisik dari tiga orang penyidik lembaga anti rasuah tersebut.
(Baca: Gamawan di Sidang E-KTP: Demi Allah Saya Tidak Menerima Satu Sen Pun)
Alhasil, dia mengaku seluruh jawaban dalam BAP tersebut dibuatnya hanya untuk menyenangkan para penyidik sehingga tidak valid. "Saya diancam, yang satu namanya Novel, satu lagi Damanik. Mereka berbicara, 'saya harusnya sudah ditangkap tahun 2010'. Saya tertekan sekali," kata Miryam seraya menangis di gedung Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (23/3).
Bukan hanya menangis, akibat tekanan tersebut Miryam mengaku sempat muntah di toilet KPK. Apalagi, saat pemeriksaan, dia menyatakan, para penyidik KPK sempat menyinggung rekannya sesama anggota DPR, yakni Bambang Soesatyo dan Azis Syamsuddin. Diceritakan Miryam, penyidik bilang pernah memeriksa kedua orang tersebut lebih menakutkan lagi.
Penjelasan para penyidik itulah, yang menurut Miryam, melandasi tindakannya untuk memberikan keterangan yang tidak benar. "Saya jawab cepat-cepat karena ingin cepat keluar," katanya.
Majelis hakim mempertanyakan penjelasan itu karena BAP tersebut cukup detail memuat keterangan dan angka-angkanya. Padahal, Miryam mengaku keterangan itu disampaikannya di bawah tekanan.
Miryam lalu menjawab bahwa seluruh pernyataan dalam BAP tidak benar. "Tidak benar Pak. Surat keterangan dalam BAP saya minta dicabut," katanya. (Baca: Jokowi: Program E-KTP "Bubrah" Karena Anggarannya Dikorupsi)
Hakim lalu menanyakan, kalau Miryam tertekan mengapa dia masih bisa menambahkan keterangan secara lengkap berikut tanggal-tanggal kejadiannya. Bahkan, dia juga terbukti membubuhkan tanda tangan dalam BAP tersebut. Menjawab pertanyaan itu, Miryam hanya menjawab enteng, "Saya tertekan selama seminggu tersebut."
Menyikapi hal tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) membuka peluang saksi verbal lisan yaitu penyidik KPK untuk dihadirkan dalam sidang tersebut. Sedangkan salah seorang kuasa hukum terdakwa kasus ini meminta agar Miryam dikonfrontir dengan saksi lainnya.
"Kalau begitu, untuk saksi saudari Miryam kami tunda dulu (pemeriksaannya)," kata hakim Jhon Halasan Butar-Butar.
Bukab hanya Miryam yang membantah tuduhan menerima duit korupsi proyek e-KTP. Dalam persidangan tersebut, mantan Wakil Ketua Komisi II DPR Teguh Juwarno juga membantah telah menerima uang.
Bahkan, Teguh menganggap hal tersebut fitnah dan mengancam membawa ke langkah hukum. "Saya akan lawan dan proses secara hukum," katanya, seperti dikutip dari Kompas.com.
Dalam surat dakwaannya pada sidang perdana kasus dugaan korupsi proyek e-ktp, Kamis (9/3) dua pekan lalu, jaksa penuntut umum Irene Putry menyebut nama para pejabat, puluhan politisi, menteri, dan kepala daerah sebagai penerima suap. Nilai kerugian negara mencapai Rp 2,3 triliun.
Sidang perdana ini menghadirkan dua terdakwa yaitu mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kemendagri Sugiharto. Jaksa menyatakan, hampir separuh dari penganggaran proyek pengadaan e-KTP tahun 2009 sebesar Rp 5,22 triliun (setelah dipotong pajak) itu telah dikorupsi oleh pelaksana proyek bersama pejabat pemerintah dan anggota DPR.
Ia menyebut, Ketua Fraksi Golkar DPR yang kini menjabat Ketua DPR Setya Novanto terlibat merancang penganggaran pengadaan e-KTP. Setya bersama dua orang anggota DPR kala itu: Anas Urbaningrum dan Muhammad Nazaruddin serta seorang pengusaha, Andi Agustinus alias Andi Narogong, mengkondisikan pembagian uang proyek tersebut.
Atas peran tersebut, jaksa menyebut, Setya dan Andi diduga mendapat jatah Rp 574,2 miliar. Jumlah yang sama diterima Anas dan Nazaruddin.
(Baca: Sidang Perdana Korupsi E-KTP Ungkap Nama Ketua DPR, Menteri, Gubernur)
Selain itu, puluhan politisi yang saat itu merupakan Anggota Komisi II DPR dan Badan Anggaran DPR juga diduga menerima dana suap ratusan miliar rupiah. Antara lain, Ganjar Pranowo yang saat ini Gubernur Jawa Tengah dan Olly Dondokambey yang sekarang Gubernur Sulawesi Utara masing-masing sebesar US$ 520 ribu dan US$ 1,2 juta.
Jaksa juga menyatakan mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menerima aliran dana paling besar yakni US$ 4,5 juta dan Rp 50 juta. Beberapa pejabat Kementerian Dalam Negeri termasuk para terdakwa turut memperoleh duit korupsi.
Dalam surat dakwaannya, jaksa menyebut total 38 pihak sebagai penerima dana pengadaan e-KTP dari terdakwa Irman dan Sugiharto. Berikut daftar penerima dana tersebut dari salinan dakwaan yang diperoleh Katadata, yang kemudian dibantah masing-masing oleh mereka.
1. Gamawan Fauzi sebesar USD 4,5 juta dan Rp 50 juta.
2. Diah Anggraeni sebesar USD 2,7 juta dan Rp 22,5 juta.
3. Drajat Wisnu Setyawan sebesar USD 615 ribu dan Rp 25 juta.
4. 6 orang anggota panitia lelang masing-masing sebesar USD 50 ribu.
5. Husni Fahmi sebesar USD 150 ribu dan Rp 30 juta.
6. Anas Urbaningrum sebesar USD 5,5 juta.
7. Melchias Markus Mekeng sebesar USD 1,4 juta.
8. Olly Dondokambey sebesar USD 1,2 juta.
9. Tamsil Lindrung sebesar USD 700 ribu.
10. Mirwan Amir sebesar USD 1,2 juta.
11. Arief Wibowo sebesar USD 108 ribu.
12. Chaeruman Harahap sebesar USD 584 ribu dan Rp 26 miliar.
13. Ganjar Pranowo sebesar USD 520 ribu.
14. Agun Gunandjar Sudarsa selaku anggota Komisi II dan Banggar DPR sebesar USD 1,047 juta.
15. Mustoko Weni sebesar USD 408 ribu.
16. Ignatius Mulyono sebesar USD 258 ribu.
17. Taufik Effendi sebesar USD 103 ribu.
18. Teguh Djuwarno sebesar USD 167 ribu.
19. Miryam S Haryani sebesar USD 23 ribu.
20. Rindoko, Nu'man Abdul Hakim, Abdul Malik Haramaen, Jamal Aziz dan Jazuli Juwaini selaku Kapoksi pada Komisi II DPR masing-masing sebesar USD 37 ribu.
21. Markus Nari sebesar Rp 4 miliar dan USD 13 ribu.
22. Yasonna Laoly sebesar USD 84 ribu.
23. Khatibul Umam Wiranu sebesar USD 400 ribu.
24. M Jafar Hafsah sebesar USD 100 ribu.
25. Ade Komarudin sebesar USD 100 ribu.
26. Abraham Mose, Agus Iswanto, Andra Agusalam, dan Darma Mapangara selaku direksi PT LEN Industri masing-masing sebesar Rp 1 miliar.
27. Wahyudin Bagenda selaku Direktur Utama PT LEN Industri (Persero) sebesar Rp 2 miliar.
28. Marzuki Ali sebesar Rp 20 miliar.
29. Johanes Marliem sebesar USD 14,880 juta dan Rp 25,24 miliar.
30. 37 anggota Komisi II lainnya seluruhnya berjumlah sebesar USD 556 ribu, masing-masing mendapatkan uang berkisar USD 13 ribu sampai dengan USD 18 ribu.
31. Beberapa anggota tim Fatmawati yaitu Jimmy Iskandar Tedjasusila alias Bobby, Eko Purwoko, Andi Noor, Wahyu Setyo, Benny Akhir, Dudi, dan Kurniawan masing-masing sebesar Rp 60 juta.
32. Manajemen bersama konsorsium PNRI sebesar Rp 137,99 miliar
33. Perum PNRI sebesar Rp 107,71 miliar
34. PT Sandipala Artha Putra sebesar Rp 145,85 miliar.
35. PT Mega Lestari Unggul yang merupakan holding company PT Sandipala Artha Putra sebesar Rp 148,86 miliar.
36. PT LEN Industri sebesar Rp 20,9 miliar.
37. PT Sucofindo sebesar Rp 8,23 miliar
38. PT Quadra Solution sebesar Rp 127,32 miliar.