Penyidik KPK Sebut 5 Nama Anggota DPR Pengancam Saksi Kasus e-KTP
Saling bantah mewarnai persidangan kasus dugaan korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan membantah adanya tekanan dalam penyusunan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Miryam S. Haryani. Sebaliknya, dia mengungkapkan tekanan dan ancaman tersebut datang dari kolega Miryam.
Menurut Novel, keterangan Miryam di sidang sebelumnya adalah kebohongan. Ia mengaku tidak pernah menekan salah seorang saksi kasus korupsi e-KTP tersebut saat menyusun BAP.
Novel malah menyebut, Miryam mendapat tekanan dari rekan-rekannya sesama anggota DPR agar tidak membeberkan informasi apapun terkait aliram uang proyek e-KTP. Berdasarkan keterangan Miryam, setidaknya ada enam anggota DPR yang menekan dirinya agar tutup mulut.
Novel mengungkapkan, lima anggota DPR di antaranya yang menekan Miryam adalah Bambang Soesatyo, Aziz Syamsuddin, Desmond J. Mahesa, Masinton Pasaribu, dan Sarifuddin Sudding. "Dia (Miryam) mengatakan masih ada satu lagi anggota (yang menekan), tapi lupa identitasnya, baik nama maupun partainya," kata Novel saat dikonfrontir langsung dengan Miryam dalam lanjutan sidang kasus dugaan korupsi e-KTP di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (30/3).
(Baca: Sambil Menangis Cabut BAP Kasus e-KTP, Anggota DPR: Saya Diancam)
Masih berdasarkan keterangan Novel, Miryam mengungkapkan bentuk ancaman tersebut kepada tim penyidik. Apabila dirinya mengembalikan uang maka akan "habis" oleh para anggota DPR. Namun, tak jelas yang dimaksud ancaman "habis" tersebut.
Menanggapi penjelasan tersebut, Novel pun menawarkan perlindungan kepada Miryam melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Namun, tawaran tersebut ditolak Miryam. "Menurut yang bersangkutan dirinya belum memerlukan (perlindungan)," kata Novel.
Novel juga mengatakan, Miryam sendiri mengakui menerima uang dari terdakwa kasus e-KTP yakni Sugiharto. Setelah uang diterima, maka selanjutnya Miryam melaporkan penerimaan uang tersebut kepada Ketua Komisi II DPR yakni Chairuman Harahap.
Dari situ, Miryam langsung diminta membagi-bagikan uang tersebut kepada seluruh anggota Komisi II DPR. "Seingat saya (dalam penjelasan Miryam) dibagikan dengan amplop," kata Novel. (Baca: Jokowi: Program E-KTP "Bubrah" Karena Anggarannya Dikorupsi)
Dalam keterangan Miryam, Novel mengatakan, mantan Wakil Ketua Komisi II DPR yang saat ini menjabat Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo juga mengetahui pembagian uang tersebut. Namun, Miryam mengaku takut kepada Ganjar sehingga penyidik KPK tidak menghadapkan Miryam dengan Ganjar saat pemeriksaan. "Saya paham dan kami tidak pertemukan (keduanya)," kata Novel.
Terakhir, Novel membantah keterangan Miryam di ruang sidang bahwa dirinya tertekan saat penyidikan lantaran beberapa hal. Antara lain, ruangan pemeriksaan di KPK yang hanya berukuran 2 x 2 meter serta aroma mirip durian yang dianggap Miryam seperti intimidasi.
Novel menjelaskan ruang pemeriksaan KPK lebih besar dari yang disebut Miryam. Adapun, Novel mengakui bahwa dirinya memakan kue durian. Namun, hal tersebut dilakukan ketika pemeriksaan selesai. "Jadi itu keterangan (Miryam) yang bohong," kata Novel.
Sementara itu, Miryam kembali membantah pernyataannya yang dipaparkan Novel dan kesaksiannya dalam BAP. Ia menyatakan, telah meminta BAP tersebut dicabut, "Semua sudah saya minta untuk dicabut."
Saat menjadi saksi di sidang sebelumnya, Kamis (23/3) pekan lalu, Miryam membantah dan mencabut pengakuan di dalam BAP bahwa dirinya membagi-bagikan uang proyek e-KTP kepada para anggota DPR. Sembari menangis, politisi dari Partai Hanura mengaku, BAP tersebut dibuat dalam kondisi tertekan oleh pertanyaan-pertanyaan dari penyidik KPK. Bahkan, adanya ancaman secara fisik dari tiga orang penyidik.
Alhasil, dia mengaku seluruh jawaban dalam BAP tersebut dibuatnya hanya untuk menyenangkan para penyidik sehingga tidak valid. "Saya diancam, yang satu namanya Novel, satu lagi Damanik. Mereka berbicara, 'saya harusnya sudah ditangkap tahun 2010'. Saya tertekan sekali," kata Miryam.
(Baca: Sidang Perdana Korupsi E-KTP Ungkap Nama Ketua DPR, Menteri, Gubernur)
Dalam surat dakwaannya pada sidang perdana kasus dugaan korupsi proyek e-KTP, 9 Maret lalu, jaksa penuntut umum Irene Putry menyebut nama para pejabat, puluhan politisi, menteri, dan kepala daerah sebagai penerima suap uang proyek e-KTP. Nilai kerugian negara mencapai Rp 2,3 triliun, dengan dua terdakwa yaitu mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kemendagri Sugiharto.
Jaksa menyatakan, hampir separuh dari penganggaran proyek pengadaan e-KTP tahun 2009 sebesar Rp 5,22 triliun (setelah dipotong pajak) itu telah dikorupsi oleh pelaksana proyek bersama pejabat pemerintah dan anggota DPR. Ia menyebut, Ketua Fraksi Golkar DPR yang kini menjabat Ketua DPR Setya Novanto terlibat merancang penganggaran pengadaan e-KTP.
Setya bersama dua orang anggota DPR kala itu: Anas Urbaningrum dan Muhammad Nazaruddin serta seorang pengusaha, Andi Agustinus alias Andi Narogong, mengkondisikan pembagian uang proyek tersebut. Atas peran tersebut, jaksa menyebut, Setya dan Andi diduga mendapat jatah Rp 574,2 miliar. Jumlah yang sama diterima Anas dan Nazaruddin.
Selain itu, puluhan politisi yang saat itu merupakan Anggota Komisi II DPR dan Badan Anggaran DPR juga diduga menerima dana suap ratusan miliar rupiah. Antara lain, Ganjar Pranowo dan Olly Dondokambey yang sekarang Gubernur Sulawesi Utara masing-masing sebesar US$ 520 ribu dan US$ 1,2 juta.
Jaksa juga menyatakan mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menerima aliran dana paling besar yakni US$ 4,5 juta dan Rp 50 juta. Beberapa pejabat Kementerian Dalam Negeri termasuk para terdakwa turut memperoleh duit korupsi.