Tujuh Perusahaan di Telunjuk Susi

Metta Dharmasaputra
3 April 2017, 16:40
Penangkapan Ikan di Bitung
Katadata

BITUNG mungkin salah satu medan paling ‘panas’ di kabinet. Wilayah di ujung Sulawesi Utara yang berbatasan dengan Filipina ini menyulut pro-kontra di kalangan para menteri. Pemicunya, kebijakan keras Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang dianggap mematikan perusahaan-perusahaan Unit Pengolahan Ikan (UPI) di sana.

Tak lama setelah dilantik sebagai menteri, Susi mengeluarkan larangan kapal asing dan eks-asing menangkap ikan di seluruh perairan Indonesia dan alih muatan (transhipment) di tengah laut. Namun belakangan muncul sorotan tajam dari Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut B. Pandjaitan.

 

Penangkapan Ikan di Bitung
Sejak pelarangan operasional kapal eks asing, ikan hanya dipasok oleh kapal-kapal dalam negeri. Donang Wahyu|KATADATA
 

Keduanya meminta kebijakan Susi dievaluasi. Alasannya, aturan itu mengganggu pasokan bahan baku yang bisa membuat UPI berhenti beroperasi dan berujung pada pemutusan hubungan kerja pegawai pabrik.

Ketua Asosiasi Unit Pengolahan Ikan (AUPI),Bitung, Provinsi Sulawesi Utara Basmi Said mengamini sinyalemen itu. Menurut dia, Peraturan Menteri KKP Nomor 56 dan 57 tahun 2014 yang ditandatangani Susi membuat produksi pabrik pengolahan ikan di Bitung terus merosot.

Basmi menyebut utilisasi produksi 53 UPI di Bitung sepanjang 2014 hanya 696 ton per hari, atau 49,2 persen dari total kapasitas terpasang (1.414 ton per hari). Angka tersebut anjlok dari utilisasi tahun sebelumnya yang mencapai 57,3 persen.

Penurunan tersebut berlanjut pada 2015. Total produksi hanya mencapai 251 ton per hari, atau 17,7 persen dari total kapasitas terpasang. Tahun lalu, utilisasi bahkan mencapai titik terendahnya di level 6,4 persen (90 ton per hari). “Sampai awal Februari lalu, utilisasi hanya 50-60 ton per hari,” ujarnya. “Ini pun pasokan ikannya berasal dari luar Bitung.”

Imbasnya, serapan tenaga kerja UPI di Bitung yang mencapai 12.848 orang pada 2014, tahun ini hanya bersisa sekitar 2.000 orang. Atas dasar itu Basmi menilai sasaran kebijakan yang dibuat Menteri Susi meleset. Alih-alih untuk menghilangkan pencurian ikan, kebijakan itu malah mematikan industri.

Pokok soalnya, dia menambahkan, terletak pada pelarangan alih muat tangkapan yang turut dikenakan pada kapal buatan lokal. Padahal, kapal lokal berbeda dengan kapal eks-asing karena tidak pernah terbukti melakukan pencurian ikan. “Maunya bunuh tikus, tapi lumbung dibakar,” dia mengibaratkan.

Meski begitu, Basmi tidak menampik adanya celah yang memungkinkan kapal lokal membawa ikannya ke luar negeri, jika larangan transhipment dihapuskan. Namun, ada tiga cara yang menurutnya bisa dilakukan pemerintah untuk mencegahnya.

 

Penangkapan Ikan di Bitung
Selain melakukan bongkar muat di dermaga Unit Pengolahan Ikan, bongkar muat juga dilakukan di pelabuhan Bitung. Donang Wahyu|KATADATA
 

Pertama, pemasangan kamera di kapal. Kedua, alat monitor kapal (vessel monitoring system/VMS) harus terpasang permanen dan tidak boleh berpindah kapal. Ketiga, pengawas dari Kementerian Kelautan diikutkan dalam proses penangkapan ikan.

Empat Lokal, Tiga Asing

Menghadapi gempuran itu, Susi bergeming. Alasannya, sebelum diberlakukan pelarangan itu pun, utilisasi produksi UPI sudah terbilang rendah.

"Ada perusahaan yang utilisasinya cuma dua persen. Itu jelas-jelas kamuflase,” katanya sengit seperti dikutip cnnindonesia.com pada 24 Februari 2015.  “Bitung itu penghasil tuna terbesar, kok tingkat utilisasinya cuma segitu?"

Tanpa tedeng aling-aling dia lantas menunjuk tujuh UPI di Bitung yang terindikasi berperasi secara tak jujur itu. Empat di antaranya perusahaan lokal, yakni PT Deho Canning Company,  PT Carvina Trijaya Makmur, PT Samudra Mandiri Sentosa, dan PT Delta Pasific Indotuna.

 

Penangkapan Ikan di Bitung
Utilisasi produksi 53 UPI di Bitung sepanjang 2014 hanya 696 ton per hari, atau 49,2 persen dari total kapasitas terpasang (1.414 ton per hari). Donang Wahyu|KATADATA 

Sedangkan tiga lainnya adalah perusahaan penanaman modal asing asal Filipina, yaitu PT International Alliance Food Indonesia,  PT Sinar Pure Foods Internasional, dan PT RD Pasific Internasional yang berpusat di General Santos.

data aupi
 

Seorang pelaku usaha perikanan di Bitung yang meminta namanya dirahasiakan, menceritakan bahwa rendahnya tingkat utilisasi dan kecurigaan adanya ‘permainan’ di balik operasi UPI, sesungguhnya dulu sudah pernah sampai ke telinga Sharif Cicip Sutardjo.

Sebagai tindak lanjutnya, Menteri Kelautan di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini lantas mengumpulkan perusahaan penangkap ikan dan meminta agar utilisasi UPI dinaikkan ke level 75 persen.

 
Pelabuhan perikanan samudera Bitung
Sejumlah kapal nelayan sandar di Pelabuhan Perikanan Samudera Bitung, Sulawesi Utara. Donang Wahyu|KATADATA 

Menurut sumber tadi, rendahnya utilisasi UPI disebabkan oleh kapal milik perusahaan penangkap ikan—baik yang terafiliasi maupun partner UPI—tidak memasok seluruh hasil tangkapannya ke pabrik. Melainkan, langsung melarikannya ke Filipina.

Pola ini dikenal dengan sistem tiga banding satu. Artinya, satu kali dibawa ke Bitung, tiga kali langsung dibawa ke General Santos, Filipina. Otomatis, hasil tangkapan pun tidak pernah dilaporkan.

Salah satu modus perusahaan penangkap ikan nakal itu adalah memperlambat bongkar muat. Caranya, tiga kapal masuk ke dermaga perusahaan dalam waktu berdekatan, tetapi proses bongkar muat kapal pertama sengaja diperlambat, agar dua kapal lainnya menunggu lebih lama. “Modus antre kapal ini yang juga dimainkan oleh Sinar Pure Foods,” ujarnya.

Menanggapi berbagai tudingan itu, sejumlah perusahaan UPI telah membantahnya. Dua tahun lalu, kepada cnnindonesia.com (25/2/2015), sanggahan langsung disampaikan oleh PT Samudra Mandiri Sentosa dan PT Delta Pacific Indotuna, sehari setelah Menteri Susi bersuara.

Kini bantahan serupa disampaikan oleh tiga perusahaan UPI yang kami mintai konfirmasi, yakni PT International Alliance Food Indonesia, PT Sinar Pure Foods International, dan PT RD Pacific Internasional. Ketiganya merupakan perusahaan asing asal Filipina.

Ketujuh perusahaan itu diduga membangun pabrik pengolahan hanya agar mendapatkan izin penangkapan ikan di perairan Indonesia. Selain itu, untuk mendapatkan cap resmi dari pemerintah Indonesia supaya ikannya dapat diekspor ke Eropa.

Sinar Pure Foods

Jufri Koyongian, HRD Manager Alliance Food, mengklaim selama ini produksinya bisa mencapai 100 persen dari kapasitas terpasang. Jauh di atas data KKP yang hanya 23,7 persen pada 2014 lalu. Ia juga menjelaskan, perusahaannya membeli ikan dari PT Usaha Mandiri selaku pemasok. “Supplier tidak sembarangan, izinnya harus lengkap,” ujarnya.

Bisa jadi benar bahwa Alliance tidak menangkap ikan sendiri. Tapi ada fakta lain yang juga menarik dicermati: Alliance punya hubungan khusus dengan dua perusahaan penangkap ikan  PT Wailan Pratama dan CV Wailan Pratama. Kedua perusahaan yang sebagian sahamnya dimiliki oleh Ansje Fenny Wowor itu memasok bahan baku ikan kepada Alliance.

Lalu, apa menariknya? Lihatlah putusan sidang Pengadilan Negeri Bitung Nomor  99/Pdt.G/2014/PN Bit. Di situ diungkap bahwa pernah terjadi konversi atas utang Alliance ke PT Wailan Pratama senilai US$ 500 ribu menjadi kepemilikan saham alias debt to equity swap.

Utang Alliance itu muncul sehubungan dengan pasokan ikan beku dari PT Wailan Pratama yang belum dilunasinya. Sebagai bagian dari aksi korporasi itu, Ansje pun diangkat sebagai salah satu Direktur di Alliance sejak Oktober 2009.

Secara terpisah, Direktur PT Sinar Pure Foods Aksel Thenderan juga menyangkal keras tudingan Susi. Dia menjelaskan bahwa pasokan bahan baku perusahaannya didapat dari kapal-kapal lokal. Selain itu, perusahaan tidak memiliki kapal penangkap ikan. “Sinar itu tidak ada kapal, tapi (melakukan aktivitas) produksi,” ujarnya pada 23 Maret lalu.

Keterangan Aksel juga bisa jadi benar. Tapi yang menarik, data di Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan KKP menyebutkan, Sinar bermitra dengan enam perusahaan dan dua pengusaha di bisnis penangkapan ikan yang menggunakan kapal eks-asing dan tercatat sebagai pemasok bahan baku kepadanya.

Enam perusahaan mitra itu adalah PT Virgo Internusa, PT Karunia Laut, PT Sinar Pesona Laut, PT Starcki Indonesia, PT Ivanda Mardy Jaya, dan PT Icinrab Bahari Timur. Adapun dua pemilik kapal eks-asing perseorangan itu adalah Riyanto dan Hendra Hutahaean.

Total kapal eks-asing dari delapan pihak tersebut mencapai 104 unit, dengan berat total 14.327 gross ton. Berdasarkan catatan KKP, sepanjang 2014 lalu, ternyata tak semua kapal eks-asing itu bersandar di Bitung.

PT Ivanda Mardy Jaya, misalnya, hanya menyandarkan empat dari 12 kapalnya dengan frekuensi 1-5 kali setahun. Kapal ini dimiliki oleh Adelaida Ansar, yang juga pemilik kapal PT Karunia Laut.

Halaman:
Reporter: Metta Dharmasaputra
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...