Sri Mulyani Tak Ingin Pengejaran Pajak Meneror Dunia Usaha
Pemerintah memang tengah fokus melakukan upaya penegakan hukum guna meningkatkan penerimaan perpajakan setelah amnesti pajak (tax amnesty) berakhir. Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tampaknya tak ingin upaya tersebut menimbulkan teror bagi dunia usaha. Maka itu, tim reformasi perpajakan yang dipimpinnya telah merancang strategi khusus.
“Tujuannya di satu sisi mau meningkatkan penerimaan pajak tanpa menimbulkan dampak ketidakpastian bagi dunia usaha, (karena kalau) mereka merasa akan dikejar-kejar pajaknya, semua merasa tidak aman,” kata Sri Mulyani saat konferensi pers di kantornya, Jakarta, Senin (3/4). (Baca juga: Tax Amnesty Usai, Ditjen Pajak Akan Lipat Gandakan Pemeriksa)
Menurut dia, yang dilakukan tim reformasi perpajakan adalah meningkatkan ketepatan pengejaran, merapihkan cara kerja dan memperbaiki kepastian hukum. Dengan begitu, wajib pajak yang telah melakukan kewajibannya dengan baik bakal memperoleh haknya untuk dilayani dengan baik sekaligus memperoleh kepastian perpajakan.
"Yang baik patut dapat pelayanan. Bukan kami ingin intimidasi, tapi kami ingin katakan pelaku ekonomi baik, compliance (kepatuhan) baik, mereka berhak dapat pelayanan," tuturnya. Hal sebaliknya terjadi bagi yang tidak patuh.
Sri Mulyani menyebut Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) bersama dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah melakukan pemisahan terhadap importir yang patuh dan tidak terhadap aturan kepabeanan dan pajak. Pelaku usaha yang kedapatan melanggar, bisa diberi peringatan atau bahkan dicabut perizinannya.
Dengan pemisahan semacam itu, pelaku usaha yang baik juga jadi tidak dirugikan lantaran ikutan dicurigai akibat prilaku pelaku usaha yang tidak baik. Saat ini, menurut dia, sudah ada 9.568 perusahaan yang izin impornya diblokir lantaran tidak melakukan impor selama 12 bulan. Selain itu, ada 50 perusahaan penerima fasilitas gudang berikat dan 88 di kawasan berikat yang dicabut izinnya.
Di sisi lain, Direktur Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Heru Pambudi menyatakan terdapat 1.209 importir yang masuk dalam kategori berisiko tinggi melakukan pelanggaran pajak dan kepabeanan (very high risk importir/VHRI). Dari jumlah itu, pihaknya telah memblokir 674 importir, sisanya dalam pengamatan.
Dalam menetapkan perusahaan yang masuk kategori VHRI, pihaknya mengkaji data pemberitahuan impor barang (PIB) dan surat pemberitahuan (SPT) tahunan pajak. “Data tersebut kami rekonsiliasi, begitu ketemu tidak patuh maka akan kami blokir dan cabut,” ujar dia.
Adapun, bagi perusahaan yang patuh dengan aturan kepabeanan dan pajak diberikan fasilitas sertifikasi Authorized Economic Operator (AEO) dan Mitra Utama (MITA) Kepabeanan. Perusahaan yang mendapat sertifikat AEO akan mendapat kemudahan dalam melakukan perdagangan internasional. (Baca juga: Bea Cukai Beri 292 Perusahaan Kemudahan Dagang)
Menurut Heru, untuk memudahkan pengawasan, DJBC juga menerapkan skema dalam jaringan (online) untuk menghubungkan pengawasan di area pemasaran, produsen, dan jalur distribusi. “Setiap ada pelanggaran di satu titik, maka di titik dua lainnya akan terblokir. Ini yang menyebabkan beberapa perusahaan langsung kami cabut, blokir dan tidak dilayani pita cukainya,” ujarnya.
Di luar itu, Sri Mulyani menjelaskan, tim reformasi perpajakan juga telah membuat sejumlah kemajuan lain dalam upayanya meningkatkan pelayanan dan penegakan hukum. Dari segi layanan, telah dikembangkan e-billing, e-form, e-bukti potong, dan lainnya. Selain itu, telah diluncurkan juga platform Kartu Indonesia Satu alias Kartin1 yang bisa berfungsi sebagai big data.
Di sisi lain, untuk meminimalkan potensi penyelewengan oleh pegawai pajak dan wajib pajak, pihaknya juga sudah melarang pegawai pajak untuk bertemu dengan wajib pajak di luar kantor.
Adapun, dari segi peraturan, pemerintah telah mengajukan kepada parlemen revisi terhadap beberapa undang-undang (UU) terkait pajak seperti Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP); Pajak Penghasilan (PPh); Pajak Pertambahan Nilai (PPN); dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).