BI Pantau Penguatan Rupiah Sudah Sesuai Nilai Fundamental
Sejak awal tahun ini, tren penguatan mta uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus berlanjut. Bank Indonesia (BI) melihat posisi penguatan rupiah saat ini suah sesuai dengan nilai fundamentalnya.
BI mencatat rupiah sudah menguat 1,09 persen sejak awal tahun ini (year to date/ytd), yakni dari 13.473 menjadi 13.326 per dolar Amerika Serikat (AS). Gubernur BI Agus DW. Martowardojo mengatakan, penguatan rupiah ini ditopang oleh optimisme terhadap prospek perekonomian di dalam negeri.
(Baca: Disokong Dana Asing Rp 71 Triliun, Rupiah Perkasa di Triwulan 1 2017)
Optimisme tersebut didukung oleh stabilitas makroekonomi yang solid, termasuk peningkatan cadangan devisa (cadev). Sedangkan tekanan pasar keuangan juga terjaga di area stabil dan normal, yang tercermin dari positifnya perkembangan kinerja pasar keuangan domestik.
“Apresiasi rupiah ini didorong oleh optimisme pelaku pasar seiring adanya perbaikan ekonomi global dan naiknya optimisme terhadap pertumbuhan ekonomi domestik dan masuknya dana asing,” ujar Agus usai rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (27/4).
Kini, Agus menilai, posisi rupiah sekarang sudah mencerminkan nilai fundamentalnya. Nilai fundamental yang dimaksud Agus berada pada rentang 13.200 hingga 13.400 per dolar AS.
(Baca: Ramal Rupiah Melemah, Sri Mulyani Perhitungkan Inflasi Dunia dan Lokal)
Selama ini, BI masih menjaga rupiah sesuai dengan mekanisme pasar. Strategi ini dilakukan seiring dengan mengecilnya gejolak atau volatilitas rupiah dari 18 persen pada 2013 menjadi hanya dua hingga tiga persen tahun ini.
Alhasil, BI memandang volatilitas yang terjadi saat ini masih sejalan dengan kebijakan. “Kami juga melihat nilai tukar rupiah yang kami perkenankan untuk fleksibel itu membuat daya tahan Indonesia semakin baik,” kata Agus.
Selama tahun 2013 hingga 2015, BI memperkenankan rupiah melemah dalam rentang 2,1 persen sampai 10 persen. Sedangkan sejak 2016 dan tahun ini, BI menoleransi penguatan rupiah hingga 2,3 persen. “Sekarang mungkin 1,5 persen,” ujarnya. Apalagi, di sisi lain, juga ada kebutuhan untuk modal keluar yang jatuh tempo ataupun Utang Luar Negeri (ULN) yang harus dibayarkan.
Ke depan, Agus melihat fundamental ekonomi Indonesia akan membaik. Proyeksi itu sejalan dengan angka inflasi yang menurun ke level 3,02 persen tahun lalu. Begitu juga dengan perbaikan defisit transaksi berjalan (current account defisit/CAD) dan neraca perdagangan.
Namun, Deputi Gubernur BI Mirza Adityaswara sepertinya punya proyeksi berbeda. Ia menyatakan, posisi rupiah yang berkisar 13.000 per dolar AS pada Maret lalu masih di bawah nilai fundamentalnya (undervalued).
(Baca: Eksternal Tak Pasti, Pemerintah Ramal Rupiah di 2018 Dekati 14 Ribu)
Ekonom CIMB Niaga Adrian Panggabean juga melihat, posisi rupiah saat ini memang sedikit undervalued. Meski masih ada peluang dua kali lagi kenaikan suku bunga acuan AS (Fed Rate), rupiah tidak akan bergeser jauh dari posisi sekarang. Alasannya, Presiden AS Donald Trump dan Menteri Keuangannya kesulitan menegaskan tidak akan membiarkan dolar AS menguat. Penguatan dolar AS yang signifikan akan membuat neraca perdagangan negara itu defisit lantaran lebih banyak melakukan impor.
Adrian mencatat, indeks Dolar AS pada Maret lalu masih di kisaran 101-103. Posisi seperti saat ini relatif kondusif bagi perekonomian AS tersebut. Karena itu, ia yakin pemerintah AS akan menjaga mata uangnya di kisaran itu. Artinya, rupiah juga tidak akan bergerak lebih jauh dari posisi saat ini.
"Makanya waktu (bunga dana) the Fed naik, dolar AS turun karena Trump dan Menkeunya bilang tidak mau dolar terlampau kuat. Itu kan urusan politik, bukan market," kata Adrian kepada Katadata.