Menteri LHK: Restu Gubernur Ganjal Freeport Raih Izin Pinjam Hutan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya mengungkapkan, PT Freeport Indonesia hingga saat ini belum mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) untuk aktivitas pertambangannya. Pemakaian lahan tanpa izin menjadi salah satu poin temuan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang berpotensi merugikan keuangan negara.
Menurut Siti, Freeport sebenarnya sudah mengajukan IPPKH sejak tahun 1990. Pada saat itu, ada 11 perusahaan lain yang juga mengajukan izin. (Baca: BPK: Potensi Kerugian Negara Akibat Tambang Freeport Rp 185 Triliun)
Namun, Siti menyatakan, izin Freeport belakangan diproses Kementerian LHK dibandingkan 11 perusahaan lain tersebut yaitu sekitar tahun 2015. Hal ini dilakukan setelah adanya pertanyaan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengecek izin tersebut.
Ketika memproses izin tersebut, ada beberapa kendala yang ditemui. Salah satunya adalah belum adanya rekomendasi dari Gubernur. Padahal, rekomendasi ini merupakan syarat administrasi ketika memohonkan izin pinjam pakai kawasan hutan.
Persyaratan itu tercantum dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.50 tahun 2016 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. “Harus ada rekomendasi dari Gubernur, nah itu yang belum keluar,” kata dia di Jakarta, Rabu (10/5).
Menurut Siti, Freeport hanya mengajukan izin pinjam pakai kawasan hutan seluas 2.900 hektare. Namun, ia menduga angka tersebut sudah berubah dan bertambah luas. (Baca: BPK Ungkap Kegiatan Tambang Bawah Tanah Freeport Tanpa Izin)
Siti akan berkonsultasi dengan BPK untuk menentukan langkah selanjutnya. Ia tidak mau menilai apakah operasional Freeport ilegal dan pemerintah berhak menghentikannya. “Saya sudah minta waktu untuk konsultasi dengan BPK,” ujar dia.
Seperti diketahui, BPK menemukan adanya potensi kerugian negara dari penggunaan 4.535,93 hektare kawasan hutan tanpa izin dari operasional Freeport senilai Rp 270 miliar. Angka tersebut didapatkan dari potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang ditagihkan sejak 2008 hingga 2015.
Freeport harus membayar PNBP karena terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2008 tentang jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berasal dari penggunaan kawasan hutan. Sehingga, per tahunnya Freeport harus membayar sekitar Rp 33 miliar.
Potensi kerugian lainnya yang diterima negara adalah terdapat kelebihan pencairan jaminan reklamasi Freeport sebesar US$ 1,43 juta atau Rp 19,4 miliar sesuai kurs tengah Bank Indonesia per 25 Mei 2016. Kemudian dampak pembuangan limbah operasional penambangan (tailing) di sungai, hutan, estuary, dan ada yang telah mencapai kawasan laut yang mencapai Rp 185 triliun.
(Baca: ESDM Bahas Pelanggaran Lingkungan Freeport Usai Negosiasi Investasi)
Negara juga berpotensi merugi karena Freeport belum menyerahkan kewajiban penempatan dana pasca tambang kepada Pemerintah Indonesia untuk periode 2016. Nilainya sebesar US$ 22,286 juta atau sekitar Rp 293 miliar.