Keterbukaan Data Bank Picu Dana Hengkang ke Properti dan Emas
Kewajiban perbankan menyetor data nasabah ke Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) berisiko memicu perpindahan dana nasabah dari bank ke aset nonkeuangan seperti properti dan emas. Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, risiko tersebut merujuk pada pengalaman Singapura.
Mengacu pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang akses informasi untuk keperluan perpajakan, memang hanya lembaga keuangan yang diwajibkan untuk melaporkan data nasabah secara otomatis kepada Ditjen Pajak. Di sisi lain, lembaga nonkeuangan tidak memiliki kewajiban serupa. Data kepemilikan properti, emas, dan aset nonkeuangan lainnya hanya bisa dibuka dengan seizin otoritas terkait.
"Perppu itu enggak bisa membuka data properti. Lalu bisa juga (harta) diatasnamakan orang lain. Makanya sudah jadi tren dialihkan ke nonkeuangan," kata dia dalam diskusi bertajuk Perppu Nomor 1 Tahun 2017 dalam Perspektif Kerahasiaan Bank di Capital Place, Jakarta, Jumat (26/5). (Baca juga: (Baca juga: Rekening di Atas Rp 500 Juta di Bank Otomatis Dilaporkan ke Pajak)
Di Indonesia, ia memperkirakan, dana nasabah bukan hanya berisiko beralih ke aset nonkeuangan, tapi juga ke lembaga jasa keuangan ilegal yang luput dari pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Maka itu, ia menilai perlunya upaya dari pemerintah untuk memperjelas aturan dan mencari cara untuk meminimalisir upaya penghindaran pajak melalui pengalihan dana ke sektor nonkeuangan.
Adapun, keterbukaan data keuangan bukan hal baru lantaran negara lain juga sudah banyak yang menerapkan aturan serupa. Menurut Prastowo, hampir seluruh negara yang tergabung dalam organisasi untuk kerja sama ekonomi dan pembangunan (Organization for Economic Cooperation and Development/OECD) sudah menerapkan aturan tersebut.
Aturan tersebut juga tak terhindarkan lantaran negara-negara anggota OECD, termasuk Indonesia, juga berkomitmen untuk melaksanakan pertukaran informasi secara otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI) terkait pajak. Dengan komitmen tersebut, negara-negara bakal saling menyampaikan data nasabah asing ke otoritas pajak di negara asalnya.
Mengacu pada data OECD per Mei 2017, sebanyak 100 negara telah berkomitmen mengikuti AEoI. Sebanyak 50 negara atau yurisdiksi mulai menerapkan AEoI pada tahun ini, sisanya berkomitmen melaksanakan mulai tahun depan, termasuk Indonesia.
Sebelumnya, sempat ada wacana untuk menerapkan keterbukaan data keuangan untuk nasabah asing dulu saja. Namun, Prastowo mengatakan, Indonesia tidak bisa melakukan hal itu. Sebab, dengan begitu, Indonesia bisa dikategorikan sebagai negara suaka pajak (tax haven). "Kalau belum dibuka yang domestik, Indonesia akan jadi tax haven yang baru. Karena di Singapura bisa dikejar, di Bank Mandiri tidak misalnya," ucap dia.
Di sisi lain, Wakil Sekretaris Jenderal Perbanas Anika Faisal menyatakan perbankan sudah sejak lama mempersiapkan diri untuk menyambut aturan keterbukaan data nasabah. Apalagi, sebelumnya, Indonesia telah bersepakat dengan Amerika Serikat (AS) untuk membuka data nasabah asal AS di Indonesia. Hal itu untuk mendukung berlakunya Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA) di Negeri Paman Sam.
Ia pun optimistis aturan keterbukaan data nasabah tidak akan menuai masalah. Toh, selama ini, data nasabah sebetulnya juga sudah terbuka untuk instansi lainnya, yaitu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). (Baca juga: Siasat Bank Atasi Larinya Dana Nasabah Akibat Diintip Pajak)
Meski begitu, ia mengingatkan bahwa masih banyak yang harus dipersiapkan pemerintah guna mendukung aturan anyarnya, seperti sistem informasi teknologi, edukasi kepada masyarakat, dan aturan turunan yang mengatur secara detil terkait pertukaran data keuangan. Soal yang terakhir, ia mengaku OJK sudah mengajak perbankan bertemu untuk berdiskusi.
"OJK juga harus siapkan develop system (mengembangkan sistem) yang reliable (andal). Standar Operasional Prosedur (SOP) penting, tapi persiapan sistem juga. Juga harus dipertimbangkan untuk BPR (Bank Perkreditan Rakyat) atau asuransi (dalam hal biaya membangun sistem)," kata Anika.