DPR Kritisi Asumsi Makro 2018, Pertumbuhan Ekonomi Terlalu Tinggi
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengkritisi kerangka ekonomi makro yang diajukan pemerintah untuk tahun anggaran 2018. Asumsi pertumbuhan ekonomi dinilai terlalu tinggi, sedangkan lifting minyak dan gas terlalu rendah, dan nilai tukar rupiah terlalu terdepresiasi.
Tahun depan, pemerintah mengasumsikan pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 5,4-6,1 persen. Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat Verna Gladis Merry Inkiriwang menilai asumsi pertumbuhan ekonomi terlalu optimistis lantaran perekonomian global belum betul-betul pulih. Di sisi lain, kondisi domestik juga masih penuh tantangan. Apalagi, pertumbuhan ekonomi cenderung stagnan dalam kuartal terakhir.
"Pencapaian ekonomi 2016 dan 2017 itu cenderung stagnan. Menurut kami target 2018 terlalu optimis," kata Verna saat Rapat Paripurna di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Selasa (30/5). Pada 2016 ekonomi hanya tumbuh 5,02 persen, sedangkan pada kuartal I 2017 hanya mencapai 5,01 persen. (Baca juga: Pemerintah Bidik Ekonomi 2018 Tumbuh 6,1%, Ketimpangan Menciut)
Asumsi Makro | APBN 2017 | Kerangka Ekonomi Makro 2018 |
Pertumbuhan ekonomi | 5,1 persen | 5,4-6,1 persen |
Inflasi | 4 persen | 3,5 persen |
Nilai tukar | Rp 13.300/dolar AS | Rp 13.500-Rp13.800/dolar AS |
Tingkat bunga SPN 3 Bulan | 5,3 persen | 4,8-5,6 persen |
Harga Minyak Mentah | 45 dolar AS/barel | 45-60 dolar AS/barel |
Lifting Minyak Bumi | 815 ribu barel per hari | 771-815 barel per hari |
Lifting Gas Bumi | 1.150 ribu barel setara minyak per hari | 1.194-1.235 ribu barel setara minyak per hari |
Meski begitu, ia mendukung target inflasi yang kian rendah. Pemerintah mengasumsikan inflasi berada di kisaran 2,5-4,5 persen, tahun depan. Harapan Verna, inflasi yang rendah tersebut bisa mendorong daya beli masyarakat. Dengan begitu, meningkatkan konsumsi rumah tangga yang merupakan salah satu motor penggerak perekonomian.
Namun, dia menilai target lifting minyak dan gas (migas) terlalu rendah. Pemerintah mengasumsikan lifting minyak 771-815 ribu barel per hari, dan lifting gas 1.194-1.235 ribu barel setara minyak per hari. Padahal, untuk bisa mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, butuh penerimaan besar termasuk dari sektor migas. "Turunnya target lifting migas akan mempengaruhi penerimaan," ujar dia.
Di sisi lain, Anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional Sutiman memperkirakan, pertumbuhan ekonomi tahun depan hanya akan berada pada kisaran 5,3-5,5 persen. Itu pun dengan syarat konsumsi rumah tangga stabil.
"Kami prediksi pertumbuhan ekonomi yang realistis 5,3-5,5 persen di 2018, dengan syarat konsumsi rumah tangga stabil. Maka pemerintah harus menekan inflasi serendah mungkin, meningkatkan daya beli, meningkatkan lapangan kerja," ujar dia.
Adapun, asumsi inflasi yang sebesar 2,5-4,5 persen dianggap masih terlalu tinggi. Hal ini lantaran dia membandingkan dengan tingkat inflasi di negara lainnya yang pasarnya tengah berkembang (emerging market).
Selain itu, Sutiman juga berpendapat asumsi nilai tukar rupiah terlalu terdepresiasi. Pemerintah mengasumsikan nilai tukar rupiah berkisar Rp 13.500 - Rp13.800 per dolar Amerika Serikat (AS), tahun depan. Maka itu, ia menilai pemerintah harus meningkatkan koordinasi dengan Bank Indonesia (BI).
Ia juga mewanti-wanti asumsi harga minyak mentah (Indonesia Crude Price/ICP) yang sebesar US$ 45-US$ 60 per barel. Di satu sisi, asumsi itu bisa meningkatkan penerimaan Indonesia dari ekspor minyak. Namun, ia mengingatkan dampaknya pada impor Bahan Bakar Minyak (BBM). "Kami memandang meski harga naik, maka pemerintah harus hedging harga minyak khususnya untuk impor," kata dia.
Sementara itu, Anggota DPR dari Fraksi Gerindra Wilgo Zainar mengatakan, untuk bisa mencapai target pertumbuhan ekonomi 5,4-6,1 persen pemerintah harus memastikan pertumbuhan ekonomi di tahun ini bisa mencapai 5,1 persen atau bahkan lebih baik. Adapun, pencapaian pada kuartal I 2017 lalu dinilai belum cukup. Maka itu, pemerintah harus bekerja keras menggenjot pertumbuhan ekonomi ke depan.
Ia pun berpesan, agar pertumbuhan ekonomi berdampak pada kesejahteraan rakyat, dalam arti menurunkan kemiskinan dan kesenjangan. Ia pun mengapresiasi target penurunan pengangguran menjadi 5,3-5,5 persen, kemiskinan 9-10 persen, dan gini rasio 0,38 persen. (Baca juga: BI Nilai Ekonomi Perlu Tumbuh 7% Agar Masyarakat Sejahtera)
Meski tak sepenuhnya sepakat dengan kerangka ekonomi makro yang diajukan pemerintah, namun seluruh fraksi menyetujui untuk membahas kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal 2018 pada tahap lebih lanjut. Namun masing-masing partai memberikan catatan-catatan, yang mayoritas terkait dengan pertumbuhan ekonomi yang dinilai terlalu optimistis dan penurunan lifting migas.