Tiga Kementerian Paling Banyak Rangkap Jabatan Komisaris BUMN
Praktik rangkap jabatan komisaris di perusahaan berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN) paling banyak dilakukan pejabat di tiga kementerian. Kondisi ini bisa memicu konflik kepentingan antara posisi pejabat sebagai pelayan publik dengan komisaris yang berorientasi mencetak untung bagi perusahaan. Namun, masalah ini bisa diselesaikan jika ada peraturan bersama Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) dan Kementerian BUMN.
Berdasarkan hasil riset Ombudsman RI, sebanyak 222 komisaris atau 41 persen dari total 541 komisaris BUMN tercatat masih merupakan pejabat publik. Identifikasi ini diperoleh dari pantauan lembaga pengawas pelayanan publik di 144 perusahaan BUMN.
Secara lebih rinci, kursi komisaris BUMN itu diduduki oleh sekitar 125 pejabat dari sejumlah kementerian dan lembaga negara serta instansi pemerintah, seperti kementerian, TNI, Polri, Perguruan Tinggi, dan Kejaksaan. Kementerian yang paling banyak menduduki kursi komisaris adalah Kementerian BUMN sebanyak 22 pejabat.
Kedua, Kementerian Keuangan sebanyak 17 pejabat. Ketiga, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sebanyak 7 pejabat yang rangkap jabatan sebagai komisaris BUMN.
Ketua Ombudsman Republik Indonesia Amzulian Rifai menentang praktik rangkap jabatan karena konflik kepentingan dan melanggar Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Pada Pasal 17 (huruf a) UU tersebut mengatur, pelaksana pelayanan publik, termasuk pegawai negeri sipil (PNS), dilarang merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha di BUMN dan BUMD.
“Pelakunya bisa dikenai sanksi pembebasan jabatan,” kata dia dalam Dialog Rangkap Jabatan PNS & Komisaris BUMN: Menyoal Profesionalisme ASN di Jakarta, Selasa (6/6). (Baca: Ombudsman Akan Laporkan Rangkap Jabatan Ratusan Pejabat ke DPR)
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Kajian Kebijakan Lembaga Administrasi Negara (LAN) Muhammad Taufiq, menyatakan praktik rangkap jabatan dilakukan dengan alasan terdapat kepemilikan saham pemerintah minimal sebesar 51 persen di perusahaan BUMN.
Namun, alasan tersebut tidak dapat diterima, apalagi posisi yang diduduki pejabat publik tersebut kerap tidak sesuai kompetensinya. "Sebesar 50 persen dari pejabat rangkap jabatan tidak ada hubungan kemampuan dengan usaha BUMN yang dijalankan," katanya.
Sementara itu, Direktur Advokasi Pusat Studi Anti Korupsi Oce Madril menyatakan mekanisme jabatan BUMN adalah jalur profesional yang harus dibedakan dengan pendekatan politik. "Seleksi yang ketat harus dilakukan," katanya.
Oce menemukan akibat konflik kepentingan yaitu banyak penyelenggara negara belum menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). "Secara acak saya memasukkan nama Komisaris BUMN, banyak juga yang belum menyerahkan LHKPN. Kementerian BUMN harus tegas," katanya.
Di sisi lain, Taufiq menyebutkan, ada dua mekanisme untuk penyelesaian masalah rangkap jabatan. Pertama, mekanisme institusional yang menuntut upaya pemerintah, terutama Kementerian PAN-RB dan Kementerian BUMN, dalam menyusun peraturan bersama.
Peraturan ini bisa memuat dua opsi bagi komisaris BUMN/BUMD yang merangkap jabatan juga sebagai pejabat di instansi pemerintah. Opsi pertama melepas salah satu dari dua jabatan aktifnya. Opsi kedua bisa merangkap jabatan dengan syarat penghasilannya berasal dari satu sumber.
Kedua, mekanisme sosial. Peran media massa mengolah dan mengelola isu menjadi penting. "Jangan sampai media berhenti mengelola isu ini karena akan berujung pada masalah yang tidak selesai," katanya.
Oce mengamini gagasan tersebut. Ia melihat persoalan rangkap jabatan ini sebagai masalah yang sederhana. "Tinggal buat aturan bersama saja yang mewajibkan pejabat pemerintah memilih salah satu jabatan, misalnya, mau jadi birokrat atau petinggi BUMN," katanya.