Gubernur BI: 3 Sebab Rupiah Sulit Menguat Lagi ke 9.000 per US$
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo menyatakan, nilai tukar rupiah yang kini berada pada kisaran Rp 13.000 per US$ merupakan cerminan fundamental ekonomi Indonesia. Ia juga menjelaskan beberapa alasan mengapa nilai tukar rupiah sulit kembali ke level Rp 9.000 per US$ seperti 2012 lalu.
Pertama, sejak 2012 Indonesia mengalami defisit transaksi berjalan atau current account defisit. Bahkan, puncak defisit transaksi berjalan terjadi pada 2013 yang nilainya sampai US$ 29 miliar. Itu terjadi ketika bank sentral AS, the Fed mengumumkan akan mengurangi stimulusnya atau periode taper tantrum.
"Maka tidak mungkin rupiah menguat kalau kebutuhan membayar lebih besar dari potensi yang diterima," kata Agus saat Rapat Kerja dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Jakarta, Selasa (13/6).
(Baca juga: Darmin Tak Akan Pusing Jika Amerika Jadi Naikkan Bunga The Fed)
Selain itu, Agus juga menyebut inflasi Indonesia yang sempat mencapai lebih dari 10 persen. Pada krisis 1998 misalnya, inflasi sempat mencapai 82,4 persen. Begitu juga pada saat krisis 2008 yang inflasinya sebesar 12,1 persen.
Saat ini, inflasi cenderung menurun 3,02 persen, namun implikasi tingginya indeks harga konsumen di masa lalu terhadap nilai tukar rupiah masih terasa. "Maka, kurs rupiah lemah dan itu kumulatif bertahun-tahun. Jadi Rp 13.000-an per US$ itu cerminan fundamental ekonomi Indonesia," tuturnya.
Faktor terakhir, Agus menyebut, adanya dana asing dari stimulus The Fed atau quantitative easing dalam jumlah besar sebelum 2013 sebagai penyebab tingginya nilai tukar rupiah saat itu.
(Baca juga: Efek Peringkat S&P, Pemerintah Hemat Biaya Utang Lebih Rp 1 Triliun)
Kini, meski rupiah lebih rendah dibandingkan lima tahun lalu, namun kondisinya sudah terbilang stabil. Itu didukung oleh capital inflow sebesar Rp 112 triliun sejak awal tahun, yang lebih tinggi dibanding periode sama tahun lalu sekitar Rp 70 triliun. "Sekarang kami sebutnya periode normal baru," kata Agus.
Seperti diketahui, asumsi nilai tukar Rupiah dari BI berada di kisaran Rp 13.400 -13.700 per US$. Angka itu lebih baik dibandingkan dengan asumsi nilai tukar milik pemerintah yang berada pada kisaran Rp13.500 - 13.800 per US$ yang tertuang dalam Kerangka Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018.