Pajak Bisa Intip Rekening WNI di Tiongkok, Menyusul Swiss dan Makau
Daftar negara yang menjalin kerja sama pertukaran data keuangan dengan Indonesia terus bertambah. Setelah Hong Kong, Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pajak meneken kerja sama sejenis dengan Tiongkok. Dengan begitu, Ditjen Pajak bisa mengintip data rekening Warga Negara Indonesia (WNI) di negara tersebut.
Perjanjian bilateral keterbukaan data keuangan antara Indonesia dan Tiongkok ini ditandatangani di sela-sela Sidang Tahunan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) ke-2 pada akhir pekan lalu (16-17 Juni 2017) di Jeju, Korea Selatan. Sidang tahunan bank infrastruktur Asia itu dihadiri oleh para menteri dan perwakilan dari 80 negara anggota, organisasi internasional, lembaga kemasyarakatan, akademisi, dan sektor swasta.
(Baca: Setelah Hong Kong, Indonesia Bidik Singapura Buka Data Rekening WNI)
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Keuangan Tiongkok Xiao Jie dalam pertemuan itu membicarakan mengenai kebijakan jalan sutera atau Belt and Road Initiative dan kerja sama di bidang perpajakan. Kedua menteri tersebut sepakat mendukung agenda prioritas masing-masing negaranya untuk mendorong perekonomian nasional dan regional.
"Detail kedua agenda tersebut akan kami tindaklanjuti di tingkat teknis," kata Sri Mulyani dalam acara buka puasa bersama di kantornya, Jakarta, Senin (19/6) malam. Adapun, kehadiran Sri Mulyani dalam sidang tahunan tersebut dalam kapasitasnya sebagai Gubernur Indonesia di AlIB.
Menurut dia, Ditjen Pajak berencana menandatangani perjanjian keterbukaan data keuangan sejenis dengan Pemerintah Swiss pada pekan depan. “Makau akan menyusul. Dengan Singapura kalau sistem IT kami sudah baik sesuai standard OECD dan kami punya peraturan perundang-undangan maka kami memiliki keseluruhan persyaratan untuk AEoI," ujar Sri Mulyani.
(Baca: Ditjen Pajak Dapat Restu Intip Data Rekening Nasabah WNI di Hong Kong)
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian bilateral keterbukaan data keuangan terkait perpajakan dengan Pemerintah Hong Kong. Perjanjian ini merupakan yang pertama dibuat Pemerintah Indonesia dengan negara lain, dalam rangka pelaksanaan pertukaran data keuangan secara otomatis untuk keperluan perpajakan (automatic exchange of information/AEoI).
Penandatanganan perjanjian Bilateral Competent Authority Agreement (BCAA) ini dilakukan di Kantor Pusat Otoritas Pajak Hong Kong atau Inland Revenue Department/IRD pada Jumat (16/6) pekan lalu.
Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi menyatakan kesepakatan dengan Hong Kong merupakan salah satu syarat yang diminta Singapura sebelum menyepakati perjanjian pertukaran informasi dengan Indonesia. "Ada permintaan Singapura, syaratnya bahwa Hong Kong harus ikut,” ujarnya. Artinya setelah Hong Kong, negara lain yang akan menyusul adalah Singapura.
Hong Kong dan Singapura memang termasuk salah satu target yang dibidik Pemerintah Indonesia. Alasannya, menurut Sri Mulyani, dua negara tersebut termasuk dalam daftar tertinggi negara asal peserta program pengampunan pajak (tax amnesty) yang berakhir Maret lalu. Posisi pertama ditempati Singapura, disusul berturut-turut oleh Hong Kong, Macau dan Inggris.
Jadi, pemerintah akan memprioritaskan pengejaran para penghindar pajak ke negara-negara tersebut. "Ini adalah tempat utama dari wajib pajak kami tempatkan asetnya,” kata Sri Mulyani.
Sebelumnya, pemerintah telah meneken perjanjian Multilateral Instrument on Tax Treaty (MLI) dengan puluhan negara untuk mencegah praktik-praktik penghindaran pajak. Sri Mulyani mengatakan MLI merupakan upaya bersama secara global untuk mencegah praktik-praktik yang dilakukan wajib pajak dan badan usaha untuk mengalihkan keuntungan dan menggerus basis pajak suatu negara.
(Baca: Sri Mulyani Teken Perjanjian Global Anti Penghindaran Pajak)
Melalui MLI ini maka kerja sama dilakukan tanpa perlu melalui proses negosiasi bilateral. Sebab, ada 68 negara yang ikut menandatangani perjanjian tersebut. “(Penandatanganan MLI) akan segera disusul 30 negara lain," kata dia dalam keterangan tertulisnya, 7 Juni lalu.
Menurut Sri Mulyani, dengan kerja sama tersebut, Indonesia bisa mengamankan penerimaan negara dengan mencegah penghindaran pajak berupa penyalahgunaan tax treaty. Selain itu, Indonesia bisa juga mencegah penghindaran yang dilakukan Bentuk Usaha Tetap (BUT) melalui tindakan memecah fungsi organisasi dan waktu kontrak, rekayasa kontrak, atau rekayasa kepemilikan.
Sebelumnya, untuk menjalankan AEoI, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi untuk Kepentingan Perpajakan. Melalui peraturan tersebut, lembaga keuangan di antaranya perbankan dan asuransi jadi memiliki kewajiban untuk menyetor data keuangan nasabah secara otomatis kepada Direktorat Jenderal Pajak.