Dua Terdakwa E-KTP Jadi Justice Collaborator, Dituntut 5 dan 7 Tahun
Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP) tahun anggaran 2011-2013, Irman dan Sugiharto, masing-masing dengan hukuman tujuh dan lima tahun penjara. Dalam sidang tuntutan yang berlangsung hari ini, jaksa juga mengumumkan status justice collaborator (JC) kedua terdakwa.
Justice collaborator merupakan pelaku tindak pidana yang mengakui perbuatannya, bukan pelaku utama dan memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan. Status justice collaborator untuk Irman diputuskan dalam Keputusan Pimpinan KPK RI Nomor KEP.670/01-55/06/2017 pada 9 Juni 2017. Sementara status Sugiharto lewat keputusan KEP.678/01-55/06/2017 tanggal 12 Juni 2017.
"Meskipun para terdakwa berstatus sebagai justice collaborator, namun penuntut umum tetap mempertimbangkan secara komprehensif perbuatan para terdakwa, termasuk akibat yang ditimbulkan sehingga melahirkan tuntutan yang adil," kata Ketua jaksa penuntut umum Irene Putrie di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (22/6).
(Baca: Jadi Saksi di Pengadilan, Setya Bantah Mendalangi Korupsi Proyek e-KTP)
Kedua terdakwa mengajukan diri menjadi justice collaborator dalam waktu berbeda. Irman mengajukannya pada 28 Oktober 2016, sementara Sugiharto mengajukannya pada 8 Mei 2017. KPK mengabulkan status keduanya dengan mengacu pada Undang-undang Nomor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 tahun 2001 tentang perlakuan whistle blower dan justice collaborator.
Irman adalah mantan Dirjen Dukcapil Kemendagri, sementara Sugiharto merupakan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) Dirjen Dukcapil. Jaksa menganggap kedua terdakwa melakukan intervensi dalam mengarahkan dan memenangkan perusahaan tertentu menjadi pelaksana proyek pengadaan e-KTP.
Intervensi tersebut dimulai dari proses anggaran, lelang, hingga pengadaan e-KTP. Keduanya juga disebut terlibat dalam pemberian suap terkait proses penganggaran proyek e-KTP di DPR RI, untuk tahun anggaran 2011-2013. "Kedua terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi," ujar jaksa Irene.
Jaksa menyatakan, sekitar 49 persen dari penganggaran proyek pengadaan e-KTP tahun 2009 sebesar Rp 5,22 triliun (setelah dipotong pajak) itu telah dikorupsi oleh pelaksana proyek bersama pejabat pemerintah dan anggota DPR. Hal itu guna memenangi konsorsium yang berafiliasi dengan Andi Agustinus sebagai pemenang tender.
Dalam surat tuntutan, Irman dinilai telah memperkaya diri sebesar Rp 2,298 miliar, 573,7 ribu USD, dan 6.000 SGD. Sedangkan Sugiharto dinilai memperkaya diri sendiri sejumlah 450 ribu USD dan Rp 460 juta. Keduanya juga dianggap telah menguntungkan orang lain dan korporasi.
Irman sebagai orang yang mempunyai otoritas tidak melakukan pencegahan terhadap tindakan Sugiharto, justru menjadi bagian dari kejahatan tersebut. Akibat dari perbuatan para terdakwa juga telah menimbulkan kerugian keuangan negara yang besar. Dalam surat dakwaan, keduanya dianggap telah menimbulkan kerugian negara hingga Rp 2,3 triliun.
Selain hukuman penjara, jaksa juga menuntut Irman membayar denda sebesar Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan penjara. Sementara, Sugiharto dituntut membayar denda sebesar Rp 400 juta subsider enam bulan kurungan penjara.
(Baca: KPK Tak Hadirkan Miryam di Rapat Hak Angket, DPR Meradang)
Jaksa pun mewajibkan Irman membayar uang pengganti sejumlah 273,7 ribu USD, Rp 2,24 miliar, dan 6.000 SGD atau tambahan dua tahun penjara jika dana tersebut tak dikembalikan dalam tempo satu bulan setelah berkekuatan hukum tetap. Sementara Sugiharto diminta membayar uang pengganti sebesar Rp 500 juta atau tambahan satu tahun penjara jika dana tersebut tak dikembalikan dalam tempo satu bulan setelah berkekuatan hukum tetap.
Jaksa menilai Irman dan Sugiharto terbukti bersalah sesuai dakwaan alternatif kedua Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 KUHPidana.