Ada Kampanye Hitam, Ekspor Sawit ke Eropa dan Amerika Tetap Tumbuh
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) baru merilis angka ekspor minyak sawit pada Januari – Mei 2017 sebesar 12,10 juta ton. Angka itu melonjak 29% dibandingkan dengan kurun waktu yang sama tahun lalu yakni 9,35 juta ton.
“Hal ini menunjukkan pasar ekspor Indonesia tetap tumbuh meskipun berbagai kampanye hitam terus membayangi industri sawit,” kata Direktur Eksekutif Gapki, Fadhil Hasan saat dihubungi, Selasa (18/7).
Sepanjang bulan Mei 2017 saja, ekspor minyak sawit hanya terkerek 2% dari 2,56 juta ton di April meningkat menjadi 2,62 juta ton pada Mei. “Secara tak terduga beberapa negara dengan mayoritas penduduk muslim biasanya meningkatkan permintaan jelang Ramadhan menurunkan permintaan minyak sawitnya,” kata Fadhil.
Penurunan yang sangat signifikan dicatatkan Pakistan sebesar 31% dibandingkan bulan sebelumnya atau dari 207,21 ribu ton di April turun menjadi 142,21 ribu ton pada Mei. Turunnya ekspor Indonesia ke Pakistan diduga karena Malaysia dapat harga yang lebih kompetitif tanpa adanya pajak yang diberlakukan untuk produk turunan minyak sawit.
(Baca juga: Indonesia – Malaysia Akan Bawa Resolusi Sawit Uni Eropa ke WTO)
Penurunan permintaan juga diikuti negara-negara Timur tengah yang membukukan penurunan 23%. Tiongkok dan negara-negara Uni Eropa juga membukukan penurunan permintaan minyak sawitnya masingmasing 7% dan 2%.
“Sementara kita tahu kampanye hitam sawit di Eropa sangat kencang, termasuk dengan adanya resolusi dari Uni Eropa,” kata Fadhil.
Produksi dan Ekspor Minyak Kelapa Sawit (CPO) 2010-2016
Tren penurunan permintaan dari Pakistan, negara-negara Timur Tengah dan Tiongkok karena pada bulan sebelumnya telah menyetok persediaan dengan memanfaatkan kesempatan dimana harga membeli dalam jumlah besar saat harga sedang rendah.
Sebaliknya, Amerika Serikat justru menaikkan permintaan minyak sawitnya secara signifikan pada Mei ini. Negeri Paman Sam ini mencatatkan kenaikan permintaan sebesar 43% dibandingkan bulan sebelumnya atau dari 83,70 ribu ton di April, naik menjadi 119,95 ribu ton.
“Hal ini sangat mengejutkan di saat AS sedang dengan gencar menuduh Indonesia melakukan dumping biodiesel,” ujar Fadhil. (Baca juga: Pemerintah Tak Setuju, DPR Ngotot Bahas RUU Kelapa Sawit)
Sebagian dari minyak sawit yang diimpor AS digunakan untuk biodiesel. Sejak diberlakukan pelarangan penggunan lemak trans (trans fat) pada produk makanan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan AS di pertengahan 2015 permintaan minyak sawit AS terus meningkat karena minyak sawit tidak mengandung lemak trans sehingga menjadi pilihan utama sebagai pengganti.
Di samping itu harga minyak sawit juga lebih murah dibandingkan dengan harga minyak nabati lainnya. Kenaikan permintaan akan minyak sawit Indonesia juga dicatatkan oleh Bangladesh sebesar 29% atau dari 124,95 ribu ton di April naik menjadi 163,27 ribu ton.
Sementara itu, meski bersaing memperebutkan pasar di beberapa negara seperti Pakistan dan Jepang, Pemerintah Indonesia dan Malaysia bekerja sama untuk melawan kampanye hitam sawit di Eropa.
Kedua negara akan melaporkan rencana Uni Eropa terkait pembatasan impor minyak kelapa sawit ke World Trade Organization (WTO). Sebagai sesama negara eksportir minyak sawit terbesar di dunia, kedua negara akan sangat dirugikan jika ada pembatasan impor dari Benua Biru. (Baca juga: Saingi Malaysia, Pemerintah Promosikan Produk Sawit ke Jepang)
“Pemerintah Malaysia dan Indonesia akan mempertimbangkan mengajukan masalah ini ke World Trade Organisation (WTO) jika resolusi Parlemen Eropa menjadi sebuah arahan Uni Eropa dan diskriminasi,” demikian bunyi pernyataan bersama yang diterbitkan oleh Kementerian Perdagangan Indonesia dan Kementerian Industri dan Perdagangan Internasional Malaysia, Ahad (16/7) malam.
Ppernyataan itu dibuat oleh Menteri Perdagangan Indonesia Enggartiasto Lukita dan Menteri Perdagangan Internasional dan Industri, Malaysia Dato' Sri Mustapa Mohamed setelah bertemu di Kuching, Sarawak, Malaysia, akhir pekan lalu.