Belajar dari Karut Marut Tata Kelola Tambang Batu Bara

Nur Farida Ahniar
20 Juli 2017, 13:37
pertambangan
pertambangan

Bagaikan pedang bermata dua, kebijakan otonomi daerah mulai 2001 telah membawa berkah, sekaligus bencana. Di satu sisi, euforia otonomi daerah yang merebak pada era reformasi tersebut telah memberi dampak positif, seperti berlomba mengembangkan potensi daerah dan meningkatkan kemandirian dalam mengelola perekonomian dan membangun daerah masing-masing.

Namun, di sisi lain, euforia otonomi daerah justru mendatangkan bencana bagi pengelolaan batu bara. Sejak pengurusan izin usaha pertambangan diserahkan oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerah, pemberian izin menjadi mudah didapatkan. Apalagi perkembangan harga komoditas batu bara yang sedang booming pada masa itu membuat semangat pemimpin daerah mengobral izin semakin menggelora.

“Izin usaha tambang diobral. Pemda berlomba-lomba memberikan izin tambang,” kata Bambang Brodjonegoro, saat menjabat Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan pada 2012. Jumlah izin usaha pertambangan (IUP) melonjak drastis. Jika pada 2001, jumlah IUP masih 750 izin, namun pada 2009 sudah melonjak 13 kali lipat menjadi lebih dari 10 ribu izin usaha tambang.

Laporan Publish What You Pay (PWYP) Indonesia menjuluki periode 2001-2009, sebagai masa-masa suram di sektor pertambangan. Ini adalah masa chaos karena industri ekstraktif dikelola secara serampangan. Sektor pertambangan berkembang sangat pesat tanpa diawasi secara ketat, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi.

Dampak dari karut marut tata kelola dalam pemberian izin pertambangan ini tentu sangat besar. Bukan saja perizinan bermasalah merebak, melainkan juga soal pemanfaatan lahan yang tumpang tindih, dampak buruk bagi lingkungan lantaran banyak lubang sisa hasil tambang batu bara yang dibiarkan menganga, hingga persoalan penghindaran pajak.

Dalam konteks perizinan yang bermasalah, Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) menengarai pemberian IUP tersebut diikuti maraknya suap dan gratifikasi. Indikasinya sederhana, banyak perizinan yang bermasalah. Laporan hasil kajian yang dilakukan oleh tim koordinasi dan supervisi (korsup) KPK di sektor pertambangan ditemukan bahwa dari total 10.348 IUP, terdapat 3.982 IUP yang bermasalah dengan status non clean and clear (Non-CnC). Artinya, hanya 61,5 persen IUP yang layak beroperasi.

Demikian halnya dengan tumpang tindih perizinan. Merebaknya pemberian IUP batu bara yang tak sesuai prosedur menimbulkan tumpang tindih peruntukkan lahan. IUP yang diberikan oleh Pemda untuk areal tambang batu bara ternyata berada di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung. Buktinya, sebanyak 4,9 juta hektar tambang batu bara berada di kawasan hutan lindung dan  1,4 juta ha di kawasan hutan konservasi.

Kekacauan perizinan tersebut diperparah dengan banyaknya perusahaan tambang batu bara yang tidak tertib administrasi. Alamat perusahaan tidak jelas dan komitmen perusahaan yang rendah dalam mengalokasikan dana reklamasi pasca tambang merupakan contoh kasus yang banyak ditemui. KPK mencatat 90 persen perusahaan tambang tidak membayarkan kewajiban rehabilitasi lahan tambang. “Lalu ke mana perginya uang itu?” kata Wakil Ketua KPK Laode Muhamad Syarif.

Karena itu, tidak mengherankan jika dampak kerusakan lingkungan merebak akibat buruknya tata kelola tambang batu bara. Sebagai contoh di Kalimantan Timur. Di provinsi ini terdapat 264 lubang tambang batu bara yang dibiarkan menganga begitu saja tanpa direklamasi oleh perusahaan pengelola. Akibatnya, tak kurang dari 27 anak meninggal di lubang-lubang sisa tambang yang berbahaya tersebut.

Dampak buruk lain dari tata kelola tambang yang amburadul dan pengawasan yang lemah adalah kemudahan bagi pemilik perusahaan tambang menghindari pajak. Berdasarkan data KPK, dari 7.839 pemegang IUP, sebanyak 24 persen atau 1.850 tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Sementara, dari total pemegang IUP yang memiliki NPWP, sebanyak 35 persen tidak melaporkan SPT atau tidak membayar pajak. Karena itu, KPK mencatat pada 2016, industri tambang memiliki piutang kepada negara sebanyak Rp 23 triliun.

Halaman:
Editor: Heri Susanto
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...