Ganti Direksi Izin Menteri ESDM Akan Buat Investasi Migas Tak Menarik
Aturan mengenai kewajiban mendapatkan persetujuan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam penggantian direksi dan komisaris di perusahaan minyak dan gas bumi (migas) berpotensi membuat iklim investasi. Penyebabnya rantai birokrasi makin panjang.
Penasehat Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan dengan aturan itu pemerintah terlalu jauh mengurusi hal yang sifatnya mikro manajemen. Padahal penggantian direksi atau komisaris merupakan hal yang sifatnya sangat operasional dan menyangkut otonomi suatu badan usaha.
(Baca: Jual-Beli Blok Migas dan Ganti Direksi Wajib Izin Menteri ESDM)
Semestinya fungsi pemerintah harus lebih banyak sebagai fasilitator dalam pengusahaan investasi. Mereka harus mengurusi yang bersifat makro seperti kontribusi terhadap penerimaan negara, pajak atau Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) di sektor migas.
Terbitnya aturan membuat industri migas semakin birokratis karena butuh perizinan tambahan. Alhasil bisa mempengaruhi iklim investasi. "Memang sudah lama tidak kondusif karena hal-hal seperti ini. Tiba-tiba keluar aturan ini itu," kata Pri kepada Katadata, Jumat (21/7).
Kewajiban mendapat restu Menteri ESDM dalam penggantian direksi dan komisaris ini tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 tahun 2017. Aturan itu menyebutkan kontraktor wajib terlebih dahulu mendapatkan persetujuan menteri berdasarkan pertimbangan Kepala SKK Migas untuk mengganti direksi dan komisaris.
Menurut Joint Venture and PGPA Manager Ephindo Energy Private Ltd Moshe Rizal Husin memahami kekhawatiran pemerintah mengenai pengawasan kegiatan hulu migas. Namun perubahan direksi atau komisaris di perusahaan migas tidak perlu mendapatkan persetujuan Menteri.
(Baca: Jual-Beli Blok Migas Akan Ditertibkan)
Menteri hanya perlu mendapat pemberitahuan terkait perubahan tersebut. "Yang penting operator menjalankan kewajibannya sesuai kontrak, kecuali pemerintah berdiri sebagai pemegang saham di institusi tersebut," kata Moshe kepada Katadata, Jumat (21/7).
Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) Marjolijn Wajong belum mau berkomentar terkait hal tersebut. "Sedang kami analisa," kata dia kepada Katadata.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja sama Sujatmiko mengatakan aturan baru itu sudah sesuai dengan amanat Undang-undang. Pasal 33 Dalam UUD 1945 bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
(Baca: Puluhan Kontraktor Migas Menunggak ke Negara Rp 5,6 Triliun)
Sujatmiko juga mengatakan aturan itu tidak bertujuan untuk mengintervensi lebih jauh kontraktor. "Itu amanat Pasal 33 UUD 1945, kami berikan mereka izin, konsesi tapi kan kepemilikan itu masih punya negara," kata dia di Kementerian ESDM, Jumat (21/7).