Ekonomi Stabil, Asosiasi Analis Optimistis IHSG Tahun Ini Tembus 6.000
Asosiasi Analis Efek Indonesia (AAEI) optimistis laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sepanjang tahun 2017 ini akan menembus angka 6.000. Alasannya, ekonomi Indonesia secara makro menunjukan kualitas yang baik dan risiko dari luar negeri pun sudah diantisipasi pelaku pasar. Saat ini, IHSG masih bergerak di angka 5.700-5.800.
Analis First Asia Capital David Sutyanto menjelaskan perekonomian Indonesia cenderung menunjukan kondisi yang baik. Data makro ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan mencapai 5,1 persen, inflasi yang cukup rendah, Produk Domestik Bruto (PDB) yang terus menanjak, disertai oleh penurunan tingkat kemiskinan, membuat Indonesia akan menarik di mata investor.
"Target 2017, di mana IHSG berada di angka 6.000 bisa tercapai," ujar David saat acara Edukasi Wartawan Pasar Modal, di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Jumat (28/7). (Baca: Dana Asing Terus Masuk, Rekor IHSG Nyaris Tembus 6.000)
David menyadari saat ini Indonesia terus meningkatkan utang hingga lebih dari Rp 1.000 triliun. Namun, rasio utang tersebut terhadap PDB berada di bawah 30 persen dengan defisit APBN pada kisaran 2,5 persen. Rasio utang ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan negara lain, khususnya yang tergabung di G-20. Utang ini pun memiliki manfaat yang lebih besar untuk membangun infrastruktur, dibandingkan dengan dampak negatifnya.
Menurutnya, keluarnya arus modal (capital outflow) saat ini, justru terjadi setelah Indonesia mendapatkan peringkat layak investasi dari lembaga pemeringkat dunia Standart and Poor's (S&P) yang menyebabkan IHSG berada di kisaran 5.800 an. Namun, menurut David, hal tersebut merupakan aksi pengambilan untung (profit taking) sementara. Dnegan kondisi perekonomian Indonesia saat ini, investor, utamanya dari luar negeri akan kembali lagi ke Indonesia.
Analis Investa Saran Mandiri Hans Kwee mengingatkan dampak dari kebijakan luar negeri Amerika Serikat (AS) akan menjadi sedikit hambatan. Normalisasi neraca akan membuat negara adidaya tersebut berupaya untuk menarik modal warganya di negara lain, kembali ke AS.
Bank Sentral AS The Federal Reserve pun berencana untuk menaikan suku bunga guna menarik kembali dana masuk ke negaranya. Meski begitu, kata Hans, kenaikan suku bunga The Fed sudah dikomunikasikan sejak lama. Sehingga, dampak yang ditimbulkan pun sudah bisa diredam.
(Baca: Mayoritas Indeks Sektoral Rebound, IHSG Semester I Melompat 10%)
Kemudian, perekonomian negara-negara Eropa pun masih belum naik signifikan. Dengan demikian, belum akan berpengaruh besar ke perekonomian Indonesia, terutama ke pasar modal. "Eropa cukup bersahabat. Sedangkan, kebijakan The Fed menaikan suku bunga yang diperkirakan akan terjadi di bulan September sudah diantisipasi pelaku pasar," ujar Hans.
Sementara itu, Kepala Riset Pendapatan Tetap PT Indomitra Securities, Maximilianus Nicodemus menjelaskan terkait dengan pasar obligasi, pemerintah diharapkan dapat menjaga rasio utang seperti saat ini hingga akhir tahun. Utang yang terlalu banyak akan menyebabkan imbal hasil yang semakin tinggi, sehingga bisa memberatkan.
"Contohnya imbal hasil bond 10 tahun Indonesia 6,92-7,02 persen. Sempat menguat di 6,9 persen. Memang dibanding flat, fluktuasi ini sehat. Hanya harus tetap dijaga di level tersebut," ujarnya. (Baca: BEI: Keuntungan IHSG Tertinggi di Dunia Sepanjang 2006-2016)