Tiga Poin Revisi Tarif Listrik Energi Terbarukan
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akhirnya menerbitkan aturan mengenai pemanfaatan sumber energi baru terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik. Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 tahun 2017 ini menggantikan Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 tahun 2017.
Ada beberapa poin dalam aturan revisi tersebut. Pertama, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) (PLN) selaku pembeli dan pengembang swasta selaku penjual bisa menegosiasikan harga listrik dari seluruh sumber energi baru terbarukan. Pada aturan lama, ini hanya berlaku untuk pembangkit berbasis panas bumi dan biomassa.
"Jadi sekarang yang masih di bawah Biaya Pokok Produksi (BPP) nasional, maka proses penentuan harganya itu business to business," kata Sekretaris Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Agoes Triboesono di Jakarta, Kamis (10/8).
(Baca: Demi Investasi, Kementerian ESDM Revisi 3 Aturan Energi Terbarukan)
Dalam aturan baru ini, mekanisme pembelian listriknya juga hanya menggunakan pemilihan langsung. Sebelumnya bisa menggunakan skema penunjukkan langsung atau lelang.
Menurut Agoes dengan pemilihan langsung, pengembang harus mengajukan proposal kepada PLN. Kemudian perusahaan pelat merah itu akan mengevaluasi proposal tersebut. Nantinya PLN akan memilih harga yang paling kompetitif.
Untuk menunjang proses pemilihan langsung itu, Kementerian ESDM meminta PLN menyusun dan mempublikasikan Standar Dokumen Pengadaan, Standar Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL), dan petunjuk teknis (Juknis)nya. "Jadi perusahaan yang dinyatakan kompeten yang diundang PLN untuk ikut mekanisme pemilihan langsung," kata dia.
Poin lainnya dalam aturan tersebut adalah mengenai pengalihan aset pembangkit listrik ke PLN setelah kontrak berakhir tanpa adanya biaya. Khusus untuk pembangkit panas bumi, PLN memiliki opsi untuk membeli proyek selain melalui pengalihan asset. Alasannya Wilayah Kerja Panas Bumi tidak dapat dialihkan berdasarkan UU 21/2004.
Permen ESDM 50/2017 itu telah berlaku sejak mulai diundangkan pada 8 Agustus lalu. Sementara kontrak jual beli listrik EBT (PPA) yang sudah ditandatangani sebelum aturan terbit, maka harga jualnya tidak bisa diubah. Sementara kontrak baru wajib mengacu aturan baru tersebut.
Di sisi lain, Ketua Asosiasi Pengembang Pembangkit Listrik Tenaga Air (APPLTA) Riza Husni menyoroti adanya klausul tidak berlaku surut dalam aturan itu. Apalagi ada beberapa pelaku industri yang sudah menandatangi kontrak sebelumnya.
Rabu (2/8) lalu, memang ada beberapa perusahaan yang menandatangani jual beli listrik. Namun dari 64 perusahaan yang direncanakan, hanya ada 53 yang datang untuk tandatangan.
(Baca: Sebelas Perusahaan Batal Tandatangani Jual Beli Listrik)
“Sekarang kalau pak Menteri sudah tau ini akan direvisi, kenapa ditandatangan pada hari itu. Kan kebijakan tidak boleh menjebak,” kata Riza.
Ketua Masyarakat Energi Baru Terbarukan Indonesia (METI) Suryadharma juga menganggap tidak bolehnya kontrak lama berubah akan membuat investasi makin tidak pasti. “Ibarat masuk ke rumah makan. Sudah pesan makan dan ada harganya. Begitu makan tiba-tiba harga berubah,” ujar dia.
Selain itu, skema membangun, memiliki, mengoperasikan, dan mengalihkan (build, own, operate, and transfer/BOOT) juga dianggap bisa mematikan peran swasta. Apalagi setelah kontrak berakhir, seluruh aset dialihkan ke PLN. Jika memang begitu, menurut Suryadharma, seharusnya dari awal investasi dilakukan pemerintah.
(Baca: Revisi Aturan Harga Listrik Energi Terbarukan Tak Berlaku Surut)
Poin negosiasi harga juga menjadi sorotan. Skema ini dianggap akan membuat proses semakin lama karena harus mencari titik temu. Seharusnya pemerintah bisa menentukan patokan mengenai tarif. “Negosiasi itu kan yang satu ingin harga tinggi sementara lainnya maunya rendah, ya tidak pernah ketemu,” ujar Suryadharma.