Setya Novanto Ikuti Taktik Hadi Poernomo Hadapi KPK di Praperadilan
Tim kuasa hukum Setya Novanto menggunakan alat bukti yang sama dengan mantan Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Hadi Poernomo, dalam melawan Komisi Pemberantasan Korupsi di sidang praperadilan. Dengan strateginya ini, tim kuasa hukum Novanto, Ketut Mulya Arsana, optimistis akan memenangkan gugatan.
"Semua kuasa hukum pasti optimistis. Termohon atau pemohon akan memiliki niat upaya sama untuk memenangkan satu kasus," kata Arsana di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (25/9).
Kuasa hukum melampirkan alat bukti yang pernah digunakan Hadi Poernomo, yakni SOP KPK bernomor 01/23/2008 mengenai Prosedur Kegiatan Penyidikan. SOP itu terlampir dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan Nomor: 115/HP/XIV/2013 tanggal 23 Desember 2013.
Hadi Poernomo menang dalam sidang praperadilan pada 2015 lalu. Hadi menggugat atas penetapan dirinya sebagai tersangka dalam dugaan penyalahgunaan wewenang atas keberatan pajak PT Bank Central Asia (BCA) Rp 5,7 triliun pada 1999. Hadi yang ketika itu menjabat sebagai Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan periode 2002-2004 diduga mengubah keputusan sehingga merugikan negara Rp 375 miliar.
Hakim mencabut status Hadi karena menilai proses penyelidikan, penyidikan, dan penyitaan oleh KPK tidak sah. Sebab penyelidik dan penyidik KPK ilegal.
Bersama 30 bukti lainnya, Ketut akan menggunakan kembali SOP tersebut untuk membuktikan proses penetapan tersangka terhadap Novanto tidak sesuai. Karena itu, Ketut menilai penetapan tersangka terhadap Setya Novanto harus dibatalkan.
"Ya (digunakan untuk membuktikan penetapan tersangka). Dari penyelidikan, penyidikan, sampai penetapan tersangka," kata Ketut.
Kepala Biro Hukum KPK Setiadi mempertanyakan penggunaan SOP yang digunakan oleh kuasa hukum Novanto. Pasalnya, SOP tersebut bukanlah yang terbaru digunakan KPK.
KPK Perbaiki SOP
Setiadi mengatakan, KPK telah memperbarui SOP mengenai Prosedur Kegiatan Penyidikan pada tahun 2015. SOP tersebut telah mengalami perbaikan yang disesuaikan dengan KUHAP dan UU KPK. "Tentunya SOP 2008 dan 2015 pasti beda. Ada perubahan, perbaikan yang lebih prudent," kata Setiadi
Setiadi menuturkan, dokumen SOP memang bukan kategori informasi yang dapat diakses publik. Namun demikian, dokumen itu telah disampaikan kepada Komisi III DPR saat Rapat Dengar Pendapat (RDP).
"Dalam RDP dua pekan lalu dengan Komisi III kami sudah serahkan sepenuhnya SOP 2015. Apakah dipakai atau tidak? Kan tidak, yang dipakai 2008," kata Setiadi.
KPK juga mempermasalahkan alat bukti berupa Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan Nomor: 115/HP/XIV/2013 tanggal 23 Desember 2013. Pasalnya, bukti LHP yang dicantumkan tersebut masih berupa konsep.
KPK menilai bisa saja dokumen tersebut belum final dan keabsahannya diragukan. "Apakah itu sudah final dari LKH kan ini menjadi suatu pertanyaan apakah bisa menjadi bukti dalam praperadilan ini," kata Setiadi.
(Baca: Jadi Saksi di Pengadilan, Setya Bantah Mendalangi Korupsi Proyek e-KTP)
Menanggapi keberatan KPK, Ketut mengatakan LHP tersebut merupakan informasi yang bisa diakses oleh publik. Bahkan, LHP itu juga sebelumnya telah digunakan dalam sidang praperadilan mantan Dirjen Pajak Hadi Purnomo pada 2014 lalu.
"LHP itu dipergunakan juga dalam perkara Nomor 36/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel, perkaranya Hadi Purnomo melawan KPK. Sehingga jelas itu merupakan domain publik," kata Ketut.
Ketut juga menilai laporan itu didapatkannya secara resmi sesuai dengan alur permintaan informasi publik di BPK. Hanya saja, BPK memang hanya memberikan laporan berbentuk konsep tersebut kepada kuasa hukum Novanto.
KPK menyerahkan 193 bukti dokumen yang dibawa dengan 16 kardus dan empat jilid dokumen setebal 30 centimeter.
Bukti-bukti tersebut dinilai dapat menunjukkan kuatnya kontruksi kasus e-KTP. Termasuk juga indikasi keterlibatan Novanto dalam kasus yang merugikan negara sebesar Rp 2,3 triliun tersebut.
"Ada beberapa alat ataupun bukti elektronik yang menunjukkan ada komunikasi antara berbagai pihak dengan pemohon. Misal ada foto dari handphone, laptop, kemudian email," kata Setiadi.
Rencananya, sidang akan dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi ahli dari pihak pemohon. Ketut menuturkan, ada empat saksi yang direncanakan dipanggil pada Selasa (26/9). "Kami rencanakan ada empat. Yang jelas ahli hukum acara pidana dan administrasi negara," kata Ketut.