Budidaya Mutiara Masih Terkendala Masalah Lahan dan Limbah Plastik
Upaya pengembangkan budidaya mutiara laut dalam negeri masih menghadapi sejumlah kendala. Persoalan lahan yang semakin sempit karena limbah plastik, telah menyebabkan cangkang mutiara menjadi rusak dan mengganggu ekosistem laut. Alhasil, nilai tambah produksi mutiara pun menjadi jauh berkurang.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Budidaya Mutiara Laut Indonesia (Asbumi) Mulyanto mengatakan tantangan budidaya mutiara ada di ekosistem yang semakin terbatas. "Negara berkembang yang biasanya makin banyak limbah, sehingga susah cari tempat yang bagus,” kata Mulyanto di Jakarta, Kamis (5/7).
Meski pun kerap terkendala masalah lahan, Mulyanto memperkirakan produksi mutiara lokal tahun ini bisa tumbuh sekitar 10% Tahun lalu, Asbumi mencatat volume produksi mutiara laut sebanyak 8 ton.
Menurut Asbumi, mutiara laut merupakan komoditas laut yang potensial untuk terus dikembangkan ke pasar ekspor. Dari angka produksi tahun lalu, hanya sekitar 500 kilogram yang dipasarkan di dalam negeri. Sementara sebagian besar lainnya dialihkan untuk memenuhi permintaan pasar ekspor.
Tak hanya itu, harga mutiara laut ini di luar negeri pun relatif tinggi. Yng mana komoditas laut ini bisa dilelang hingga US$ 15 per gram. Sedangkan harga rata-ratanya sebesar US$ 10 per gram.
(Baca : Potensi Rumput Laut di Sumba Timur Mencapai Rp 570 Miliar)
Hal itu cukup dimaklumi karena masa tumbuh mutiara laut mencapai sekitar 4 tahun. Sehingga diperlukan proses budidaya dan perawatan yang tepat untuk menghasilkan jenis mutiara yang berkualitas. “Mutiara berkualitas rendah juga akan terus ditingkatkan,” ujar Mulyanto.