Pelemahan Rupiah Dikhawatirkan Ganggu Pertumbuhan Industri dan Ekonomi

Michael Reily
6 Juli 2018, 11:31
Pabrik Konveksi Pan Brothers
Katadata

Pengusaha menyatakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang berada di atas level Rp 14 ribu bisa mengganggu pertumbuhan ekonomi dan industri.  Sebab,  pelemahan rupiah menjadikan ongkos bahan baku yang harus diimpor dari luar negeri lebih tinggi. Alhasil, beban usaha meningkat.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menjelaskan banyak  pengusaha berhati-hati dalam menjalankan kegiatan produksi saat ini, terutama  pada beberapa bisnis yang masih bergantung pada bahan baku impor. 

Alhasil, pelemahan rupiah biasanya direspon pengusaha dengan mengkalkulasi ulang kemampuan produksi, karena biaya produksi yang semakin meningkat. Selain itu, pengusaha juga biasanya akan melakukan efisiensi  di segala lini  dan pemangkasan biaya  mengantasi kenaikan beban produksi. 

(Baca : Sri Mulyani Beri Sinyal Rem Impor Buat Meredam Pelemahan Kurs Rupiah)

"Kehati-hatian ini  akan berdampak pada penurunan produksi. Semua pengeluaran direview,  efisiensi di segala bidang. Ini juga yang kami khawatirkan, pertumbuhan ekonomi bisa melambat,” kata Hariyadi di Jakarta, Kamis (5/7).

Nilai tukar rupiah yang  saat ini telah berada di atas Rp 14 ribu meningkat jauh dari asumsi pengusaha yang mematok nilai tukar rupiah terhadap dolar di level  Rp 13.500. Pelemahan nilai tukar yang terus bergulir pun akhirnya mengerek harga impor bahan baku. “Sejak rupiah bergerak dari Rp 13.000 ke Rp 14.000, biaya bahan baku sudah mengalami kenaikan antara 5%-7%, ” ujar Hariyadi.

Menurutnya, akibatnya banyak industri terpukul, terutama bagi industri yang  masih banyak bergantung pada bahan baku impor. Sektor farmasi sampai unggulan ekspor seperti tekstil pun komponen impornya cukup tinggi. Untuk membuat pakaian jadi, dia mengatakan benang masih harus dibeli dari luar negeri.

Dia juga menggarisbawahi perang dagang yang dampaknya mengkhawatirkan bagi dunia usaha. Oleh karena itu, dia meminta para pengusaha di Indonesia untuk fokus pada peningkatan ekonomi dalam negeri. “Kalau kita hadapi kendala dengan ekspor, paling tidak kita harus jaga konsentrasi pasar dalam negeri,” kata Hariyadi.

Nilai tukar rupiah menembus 14.400 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat, 29 Juni 2018. Ini artinya, rupiah terdepresiasi nyaris 6% sepanjang tahun ini (year to date/ytd) dan masuk dalam jajaran mata uang negara berkembang yang paling terpukul oleh dolar AS.

(Baca juga: Rupiah Tembus 14.400 per Dolar AS, Termasuk Mata Uang Terlemah)

Mengacu pada data Bloomberg per Kamis (28/6), mata uang negara berkembang yang anjlok paling besar yaitu peso Argentina (33,71%), lira Turki (17,15%), real Brazil (14,3%), dan rand Afrika Selatan (10,08%). Sementara itu, di kawasan Asia, pelemahan paling besar dialami rupe India (7,15%), peso Filipina (6,74%), dan rupiah (5,71%).

Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Tony Prasetiantono menduga terpukulnya rupiah bukan hanya karena faktor eksternal, seperti kekhawatiran terkait memanasnya perang dagang Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. "Karena pelemahan rupiah termasuk yang paling besar di antara negara-negara emerging markets, maka patut diduga ada faktor internal kita," kata Tony, pekan lalu.

Faktor internal yang dimaksud yaitu terkait kinerja neraca perdagangan yang masih defisit. Pada Mei lalu, defisit neraca dagang  mencapai US$ 1,52 miliar. Dengan demikian, secara kumulatif, defisit neraca perdagangan sepanjang lima bulan pertama tahun ini telah mencapai US$ 2,83 miliar. Padahal, pada periode sama tahun lalu, neraca perdagangan Indonesia surplus US$ 5,98 miliar.

Halaman:
Editor: Ekarina
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...