Bongkar-Pasang Sistem Pengelolaan Migas

Image title
Oleh
21 Agustus 2013, 00:00
No image
KATADATA | Arief Kamaludin
Ade Wahyudi, Deputy Director KATADATA

Penangkapan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) Rudi Rubiandini oleh Komisi Pemberantasan Korupsi memunculkan  kembali tuntutan pembubaran lembaga ini. Fungsi regulasi pengelolaan migas diminta dikembalikan ke Pertamina, seperti zaman Orde Baru.

Sejak Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001 diberlakukan, sistem pengelolaan migas nasional menganut pemisahan fungsi regulator dan operator. Fungsi regulator dijalankan oleh BP Migas, sedangkan Pertamina sebatas bertindak selaku operator. Dalam perkembangannya, sistem baru inilah yang dinilai sebagai biang korupsi, khususnya di tubuh BP Migas.

Advertisement

Sistem ini juga dituding membuka liberalisasi pengelolaan migas karena sangat dipengaruhi oleh pihak asing. Pertamina dianggap tidak mendapat ruang yang cukup untuk berkembang karena BP Migas—kemudian menjadi SKK Migas—dituduh lebih mementingkan perusahaan-perusahaan asing. 

Terhadap tuntutan ini, kita sebaiknya tak secara gegabah menolak atau pun menyetujuinya. Perlu dilakukan pengkajian secara cermat dan mendalam tentang plus-minus dari kedua pola yang telah dijalani negeri ini. Dengan begitu, kita akan terhindar dari sekadar bongkar-pasang sistem yang menghabiskan waktu dan energi.

Bila kita menengok ke belakang, lahirnya UU Migas 22/2001 justru didorong oleh alasan-alasan yang saat ini dipakai oleh kelompok yang mendesak pembubaran SKK Migas, yaitu korupsi dan kebijakan yang menguntungkan asing.

Pada 1999,  lembaga auditor keuangan internasional PricewaterhouseCoopers (PwC) merilis hasil audit yang mereka lakukan kepada Pertamina. Audit dilakukan sebagai kelanjutan dari kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan Dana Moneter Internasional (IMF). Dalam hasil auditnya PwC menyimpulkan terjadi inefisiensi di Pertamina.

Akibat inefisiensi yang terjadi pada 1996 hingga 1998, Pertamina ditengarai mengalami kerugian US$ 4,7 miliar. Jumlah itu hampir setara dengan pinjaman luar negeri Indonesia saat itu, yaitu sekitar US$ 5 miliar. Harian the Jakarta Post yang terbit pada 1999 menuliskan, inefisiensi terjadi salah satunya dikarenakan kontrak-kontrak tidak wajar yang dibuat Pertamina dengan perusahaan yang terafiliasi dengan keluarga mantan Presiden Soeharto dan kroninya. 

Selain inefisiensi, Pertamina di era Orde Baru juga dikritik karena cenderung menyerahkan wilayah kerjanya kepada perusahaan asing, ketimbang mengelolanya sendiri. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan, 74 persen blok migas yang sudah berproduksi, digarap oleh asing. Mereka umumnya memperoleh kontrak pada era UU Nomor 8 Tahun 1971. 

Dalam wawancara dengan situs berita tempointeraktif pada 28 September 1996, Mantan Menteri Pertambangan dan Minyak Bumi M. Sadli menyebut Pertamina di era itu sebagai rent seeker . Pertamina hanya ingin mendapatkan keuntungan dari pihak lain tanpa harus bekerja keras melakukan eksplorasi migas.

Temuan PwC  dan berbagai kelemahan di tubuh Pertamina inilah yang kemudian membuat banyak kalangan mendesak agar segara dilakukan reformasi di perusahaan milik negara itu. Hasilnya adalah Undang-Undang 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Halaman:
    Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

    Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

    Ikuti kami

    Artikel Terkait

    Video Pilihan
    Loading...
    Advertisement