Mal yang Sekadar Tempat Belanja Akan Tergerus E-Commerce

Ameidyo Daud Nasution
31 Mei 2016, 17:58
Budi Gandasoebrata
Ameidyo D. Nasution|KATADATA
Budi Gandasoebrata

Maraknya perdagangan secara elektronik atau e-commerce diprediksi menimbulkan dampak langsung kepada pola belanja di mal. Bahkan, seperti dikutip Bloomberg pertengahan pekan lalu, salah satu distributor retail ternama, Al-Futtaim, yang membawahi beberapa merk seperti Marks & Spencer dan Zara, berencana menutup 10 gerai mereka di Singapura tahun ini.

Hal ini sejalan dengan tren belanja online di Negeri Singa tersebut yang terus meningkat. Ternyata, sekitar 94 persen masyarakat di sana setidaknya berbelanja online sekali dalam tiga bulan terakhir.

Advertisement

Gelagat tersebut rupanya mulai menjalar ke Indonesia, walau belum mencapai taraf seekstrem di Singapura, Amerika, atau sejumlah negara di Eropa. Bahkan, Presiden Joko Widodo sempat memberi perhatian khusus atas perkembangan industri berbasis aplikasi digital tersebut ketika membuka Indonesia E-Commerce Summit and Expo pada akhir April lalu. (Baca: E-Commerce Berkembang, Jokowi: Hati-hati Para Pemilik Mal!).

Wakil Ketua Indonesian E-Commerce Association (iDea) Bidang Kebijakan Publik Budi Gandasoebrata menilai tren pergeseran cara berbelanja ini memang berpotensi merambah Indonesia. Namun mal masih memiliki posisi tawar tinggi terutama bila melihat tujuan masyarakat berbondong-bondog ke pusat belanja yang tak sekadar berburu barang bermerk. Berikut ini wawancara Katadata dengan Budi Gandasoebrata pada akhir pekan lalu. 

Penjualan mal di Singapura jeblok tergerus transaksi e-commerce. Apakah tren tersebut akan terjadi di sini?

Bisa saja. Saya kalau belanja online banyak alasannya. Nomor satu kadang barangnya lebih murah, kedua simply convenience. Dulu kalau mau beli handphone ke toko untuk lihat bentuk fisiknya, sekarang tidak perlu. Bahkan belanja online ada promo dan apabila membayar dengan cicilan juga banyak dapat diskon. Jadi, untuk apa belanja lebih mahal di luar, bermacet-macetan. Orang mencari kemudahan.

Berarti kultur belanja di masyarakat akan berubah?

Sudah mulai terjadi. Kalau mal menawarkan barang yang susah dicari secara online, seperti mobil, ya dia ke dealer karena tidak ada yang beli mobil secara online. Kalau beli makanan, lewat Gojek saja, lebih mudah. Beli pakaian secara online mungkin sedikit susah karena harus customize. Tapi kalau sudah tahu kemeja merk tertentu, otomatis akan beli secara online.

Lantas mengapa tren e-commerce tidak secara otomatis menarik komsumen dari mal?

Balik ke habit, kalau murni cuma belanja, ya, menurun. Tapi kita kadang ke mal kan bisa mau ketemu teman, nongkrong. Seperti di Singapura, yang sepi mal di Orchard. Sedangkan mal di Serangoon dan lain-lain makin ramai. Memang ada faktor belanja online tapi ada juga faktor lainnya karena di wilayah pinggir ada mal baru.

Contohnya, dulu di Jakarta Selatan semua ke Pondok Indah Mall. Sekarang dengan adanya peningkatan daya beli dan mal baru, seperti Cinere Mall dan Gandaria City, maka konsumen terdistribusi. Sekarang cari parkir di PIM sudah bukan mimpi buruk lagi dan juga lebih sepi.

Apa dengan demikian pusat perbelanjaan dan mal masih bisa tumbuh?

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement