Indonesia Bisa Jadi Penghasil Panas Bumi Terbesar di Dunia

Anggita Rezki Amelia
19 Juli 2017, 14:58
Abadi Purnomo EBTKE
Arief Kamaludin|KATADATA

Potensi sumber panas bumi di negara ini melimpah. Bahkan, potensinya saat ini merupakan yang terbesar ketiga di dunia setelah Filipina dan Amerika Serikat.

Sayangnya, potensi besar tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal. Penggunaan panas bumi saat ini baru 11,3% dari potensi yang ada. Salah satu penyebab utamanya adalah pengembangan energi baru terbarukan ini harus bersaing dengan energi lain, seperti minyak bumi dan batubara yang harganya lebih murah.

Advertisement

Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia Abadi Poernomo mengungkapkan, para pengusaha panas bumi juga menghadapi masalah sosial. "Masuk di suatu gunung mau bangun jalan ke dalamnya. Kadang di tengah gunung itu ada satu keluarga minta tanah itu dibeli Rp 1,5 juta per meter," katanya saat wawancara khusus dengan wartawan Katadata, Anggita Rezki Amalia, di kantornya, Jakarta, Selasa (11/7).

Berikut petikan wawancara dengan Abadi, yang juga Anggota Dewan Energi (DEN) ini mengenai peluang dan tantangan pengembangan energi panas bumi di Indonesia.

Bagaimana peluang pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di tengah rendahnya harga minyak dunia saat ini? 

EBT itu biasanya dipakai untuk tenaga listrik, dan sumbernya bisa bermacam-macam. Kalau kami lihat hidro dan panas bumi itu untuk base load (beban dasar), artinya bekerja tujuh hari seminggu, 24 jam sehari. 

Karena itu, saingan energi hidro dan panas bumi adalah batubara dan fosil. Apalagi harga batubara saat ini jauh lebih murah dari EBT, yakni di kisaran US$ 80 per ton. Jadi, harga listrik yang diproduksi dari pembangkit batubara sekitar US$ 6-8 sen per kwh sedangkan harga listrik dari panas bumi sekitar dua digit, antara US$ 10 sen per kwh ke atas.

Sedangkan masyarakat ingin listrik murah, naik satu golongan saja tarif listriknya sudah ribut sekali. Masalah itu yang menjadi dilematis sekarang.

Apa lagi hambatannya? 

Pemerintah bertanggung jawab menyediakan ketenagalistrikan. Cuma ada permasalahan, yakni sampai di mana kemampuan keuangan pemerintah untuk mendukung subsidi? Itu dilematis yang cukup berat. 

Kalau kami melihat masa depan, EBT itu banyak nilai positif daripada negatif. Pertama, menjadi mandiri energi bukan hanya berdaulat, karena punya sumber daya sendiri. Kalau di minyak dan gas bumi, harus impor. 

Jadi, kalau mau lebih visioner, seharusnya EBT didorong, apapun bentuknya. Apalagi, Indonesia itu kaya EBT, apa saja ada. Namun harus dikategorikan dulu mana yang kebutuhan base load dan peakerPeaker itu kalau beban listriknya naik.

Bagaimana peluang energi lainnya?

Selain panas bumi, ada matahari. Cuaca di Indonesia panas tapi berawan, berbeda dengan wilayah gurun. Gurun itu sama sekali tidak berawan, karena itu menjadi efisien. Intensitas mataharinya menjadi sangat kuat.

Sementara di Indonesia terasa panas, tapi tertutup awan. Mataharinya tidak bisa tertangkap dengan baik di panel surya. Alhasil rata-rata hanya bisa menangkap panel surya itu antara jam 6-9 pagi. Dari jam 9 pagi sampai 1 siang hanya beberapa jam. Selanjutnya mulai turun, karena panas mataharinya berkurang.

Ada pula energi tenaga hidro. Meskipun tersebar di mana-mana, permasalahan sekarang kontinuitas pengaliran air juga sangat fluktuatif, kecuali di sungai Memberamo di Papua. Itu yang masih perawan di sana. Di Jawa, kalau hujan terus banjir di mana-mana. Namun kalau kering jadi kering betul. Ini yang perlu kita sikapi.

Begitu juga angin. Katakanlah angin di tropis bukan subtropis, jadi jarang sekali mendapatkan siklus yang baik.

Bagaimana dengan pengembangan panas bumi? 

Banyak yang harus dikembangkan, masih jauh sekali. Jadi Indonesia itu terletak di ring of fire, yaitu satu rangkaian gunung api yang dari Sumatera Utara turun ke Sumatera Selatan terus ke Jawa, Bali, Nusa Tenggara kemudian naik lagi ke Ambon dan Sulawesi.

Semua berpotensi untuk panas bumi. Jadi daerah itu punya potensi untuk dikembangkan. Apalagi Sumatera, itu ada bukit barisan, di Jawa juga segala macam gunung banyak di situ. 

Di sisi lain, di Sumatera juga ada batubara. Ini yang agak susah, apalagi konsepnya sekarang single buyer, single offtaker yakni PT Perusahaan Listrik (PLN). Mereka yang beli maka pasti memilih yang lebih murah untuk dibeli. Ini permasalahan yang krusial.

Seberapa besar potensi panas bumi di Indonesia?

Potensi panas bumi di Indonesia besar, tapi yang baru terpakai saat ini sekitar 1,7 GigaWatt (GW). Padahal potensi sumber daya alam untuk panas bumi sekitar 15 GW, sementara cadangannya yang bisa dimanfaatkan 14 GW. Adapun, cadangan yang terbukti baru sekitar 4 GW.

Bagaimana pengusaha menyikapi rencana pemerintah untuk meningkatkan pemanfaatan panas bumi?

Saat ini yang terbesar panas bumi itu Amerika, kemudian Filipina dan ketiga Indonesia. Jika mengacu Peraturan Presiden Nomor 22 tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), agar mencapai target bauran energi baru terbarukan sebesar 23%, kapasitas terpasang Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) harus sebesar 7.200 MW di 2025. Artinya, dari sekarang butuh penambahan 5.600 MW.

Bila ini tercapai maka Indonesia akan menjadi nomor satu. Untuk mencapai itu perlu dukungan regulasi dan kondisi sosial setempat agar para investor masuk. Selain itu, perlu insentif fiskal, harga listrik yang sesuai harga keekonomian, proses perizinan yang disederhanakan, dan kehadiran pemerintah setiap menghadapi masalah sosial.

Apakah sejauh ini secara investasinya menarik?

Setiap pelaku usaha itu datang ke sini pasti melihat kemungkinan adanya margin yang bisa diperoleh. Kalau ada untung mereka kerjakan, kalau tidak ada yang tidak dikerjakan.

Untuk berinvestasi, para pelaku usaha akan melihat risiko dari negara tersebut. Salah satu indikatornya adalah kepastian regulasi. Kalau regulasi cukup pasti, dan risikonya sudah bisa diatasi dan masuk harga keekonomiannya, pasti mereka mau investasi.

Geothermal Kamojang

Bagaimana hitung-hitungan nilai investasinya?

Perusahaan panas bumi membutuhkan investasi yang sangat besar. Untuk memproduksi 1 MegaWatt (MW) dari panas bumi memerlukan US$ 4-5 juta. Sementara batubara hanya memerlukan maksimal US$ 2 juta untuk menghasilkan daya sebesar itu.

Artinya batubara lebih murah, apakah mungkin bisa bersaing, kan sulit. Inilah yang menjadi kendala keseluruhan. Satu sisi ingin murah, tapi pemerintah tidak punya dana cukup untuk subsidi, sementara harga listrik nantinya bisa menjadi mahal.

Apa upaya agar pengusaha sukses mengembangkan panas bumi?

Kami mencoba membahas dengan pemerintah. Ada Undang-undang (UU) Nomor 21 tahun 2014 tentang panas bumi. Itu hasil kerja keras bersama asosiasi. Saya apresiasi aturan itu karena bisa selesai dalam delapan bulan, sementara UU migas belum selesai bertahun-tahun.

Setelah UU selesai, ada aturan turunannya tentang penggunaan panas bumi secara tidak langsung yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2017. Aturan ini sudah cukup bagus. Setelah itu juga terbit Peraturan Menteri ESDM Nomor 37 tahun 2017, di situlah kemudian kami lihat investor mulai masuk.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement