Semua Pemerintahan di Tahun Terakhir Lebih Populis

Muchamad Nafi
3 Mei 2018, 11:54
Jusuf Kalla
Arief Kamaludin|Katadata

Publik kerap menyoroti tahun-tahun terakhir masa pemerintahan satu kabinet, termasuk di era kepemimpinan Joko Widodo saat ini. Misalnya, ada yang membandingkan target pertumbuhan ekonomi di awal menjabat dan pencapaian di 2018. Ada juga yang menyoroti politik anggaran pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Suara pro-kontra meruak. Kebijakan pemerintah yang memperluas  penyaluran dana sosial, termasuk memperbesar subsidi, dianggap sebagai upaya pencitraan pro-rakyat. Sebaliknya, pemerintah berargumen langkah ini diperlukan untuk menopang rakyat miskin.

“Memang, hampir semua pemerintahan di mana saja, kalau tahun-tahun terakhir itu lebih populis,” kata Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam wawancara khusus dengan tim Katadata di kantornya di Jakarta, tiga pekan lalu.

Di luar soal ekonomi, Kalla yang selama ini dikenal sebagai “king maker” menyampaikan sejumlah pendapatnya tentang ajang Pemilu 2019, termasuk peluang Presiden Joko Widodo. 

 Di sisa satu setengah tahun pemerintahan, apa yang harus dikerjakan dan difokuskan?

Pemerintahan itu berkelanjutan, bersambung. Tidak berarti di tahun terakhir kami menurun atau melambat. Suatu pekerjaan butuh waktu. Ada jangka menengah, jangka pendek, dan jangka panjang. Pekerjaan seperti infrastruktur itu jangka panjang. Tidak bisa kami berhenti.

Pak Jokowi kemungkinan besar melanjutkan (pemerintahan). Jadi, tetap harus bekerja apa adanya. Pemerintah itu berdasarkan APBN dan rencana yang ada.

Memang, hampir semua pemerintahan di mana saja, pada tahun-tahun terakhir lebih populis. Banyak memberikan program kepada masyarakat, banyak subsidi. Di mana pun itu. Tapi yang lainnya, jalan saja seperti biasa.

Di tengah target yang telah dicanangkan, kendala harus populis ini bisa kontradiktif?

Betul. Secara umum, pada awal pemerintahan kami mencanangkan pertumbuhan ekonomi 7 persen. Tapi karena keadaan dunia dan internal, kita tidak bisa mencapainya. Hanya berkisar 5 persen. Karena memang keadaan dunia begitu. Tapi beberapa negara seperti India, Cina masih bisa di atas 6-7 persen.

Yang harus kita lakukan adalah percepatan. Jangan lupa, tahun ini tahun keempat. Memulai sesuatu yang dimulai pada awal pemerintahan, mungkin saja bisa diresmikan pada tahun ini atau tahun depan. Yang diresmikan pada 2015, itu pun dimulainya pada pemerintahan yang lama.

Sorotan terhadap kebijakan populis antara lain menyangkut soal keberlanjutan pengurangan subsidi. Sekarang harga minyak dunia naik, tapi harga BBM ditahan...

Memang pada akhir suatu pemerintahan, kebijakannya lebih condong kepada keberpihakan, pemerataan, dan sebagainya. Itu tercermin pada kebijakan subsidi, Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, dan lainnya. Otomatis belanja barang dan modal akan berkurang.

Karena itu banyak kritik soal konsistensi kebijakan. Bagaimana menjelaskannya?

Harga listrik, BBM, bukan diturunkan tapi distabilkan. Efeknya subsidi cenderung naik, tapi masih lebih kecil dibanding dengan pada 2010, 2013, dan 2014. Subsidi saat itu sampai Rp 400 triliun. Sekarang total subsidi termasuk BBM, gas, lalu beras sekitar Rp 200 triliun. Jadi, walaupun naik, tidak setinggi akhir pemerintahan yang lama.

Ada juga kritik pembangunan infrastruktur yang dikaitkan dengan utang yang membesar. Bagaimana melihat hal itu?

Utang itu selalu dilihat dari dua sisi, yakni proporsinya terhadap PDB serta kesanggupan kita membayar bunga dan cicilannya yang tiap tahun bisa Rp 300 triliun. Utang baru sebenarnya tidak jauh beda dengan apa yang kami harus bayar. Kalau tidak berutang, belanja modal tidak bisa jalan. Belanja modal ini tetap harus kami jalankan untuk memperbaiki infrastruktur. Selain itu, anggaran rutin, pendidikan, kesehatan harus terus ada. Untuk mengisi gap ini, maka harus berutang lagi, tapi sambil membayar utang juga.

Sejauh ini utang masih terkelola dengan baik?

Manageable dalam arti dua hal, bahwa nilai utang di bawah 60 persen dari GDP (Produk Domestik Bruto). Tiap tahun (defisit) APBN pun masih di bawah 3 persen. Ada batasannya. Kedua, kita mampu membayar. Begitu tidak mampu membayar, maka akan terjadi masalah moneter dan fiskal, bunga tinggi, dan sebagainya.

Bagaimana soal kabinet yang sering tidak satu suara. Misalnya soal impor beras dan isu swasembada. Mengapa bisa terjadi?

Ini memang soal data. Data Pertanian, data BPS, kadang-kadang berbeda dari kenyataan di lapangan. Kementerian Pertanian mengatakan produksi hampir 80 juta ton padi. Padahal, kenyataannya mungkin sekitar 50-an juta ton. Jadi memang ada perbedaan antara data dan lapangan, sehingga sering menimbulkan perdebatan.

Tapi satu hal, kita dalam keadaan apa pun tidak boleh kekurangan pangan. Selain itu, harga tidak boleh terlalu terlalu tinggi. Harga beras yang terlalu tinggi akan menimbulkan inflasi, yang memukul masyarakat bawah. Kalau harga beras naik, yang menengah atas itu tidak masalah karena konsumsi beras paling tinggi 20 persen. Tapi masyarakat di bawah itu bisa sampai 60 persen.

Jadi mau tidak mau impor harus dilakukan?

Iya, di lapangan (kekurangan) supply tercermin dari harga yang naik, makanya impor.

Peraturan Presiden soal pengetatan pengambilalihan lahan sawah untuk kepentingan lain diterbitkan. Apakah terkait degradasi lahan di Jawa?

Ada aturan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) tentang tata guna lahan yang harus ditaati. Harus persetujuan DPR, pemerintah, DPRD, dan sebagainya. Itu untuk menjaga keberlanjutan pertanian. Namun perlu disadari bahwa penduduk semakin bertambah, butuh rumah, butuh pekerjaan.

Salah satu pekerjaan besar itu di bidang industri. Satu industri bisa memberi pekerjaan 100 hingga 200 orang. Apabila di sawah, paling tinggi tiga orang. Jadi tidak apa-apa kita konversi sawah ke industri, namun yang kita butuhkan peningkatan produktivitas sawah yang ada.

Karena setiap tahun sawah berkurang 1,5 persen dan penduduk bertambah 1,5 persen. Maka, setidaknya produktivitas harus naik tiga persen per tahun. Lahan berkurang, tapi kebutuhan pangan lebih banyak.

Masih soal pangan, ada keluhan pengusaha terhadap pengaturan tata niaga, misalnya soal harga eceran tertinggi (HET). Apakah pengaturan ini tepat?

Ini harga acuan. Banyak negara memberlakukannya, seperti Malaysia. Katakan beras medium Rp 9.000-9.500 per kilogram. Kalau melebihi angka tertentu, kita harus impor. Ada dua hal kenapa harus impor, yaitu kalau harga naik melebihi 10 persen di atas harga acuan atau stok Bulog di bawah satu juta ton.

Tanpa acuan harga itu, bagaimana mengintervensi pasar. Tidak ada dasarnya bagi pemerintah untuk operasi pasar. Namun, dengan acuan itu tidak berarti (langsung dikatakan) ada pelanggaran dan Anda masuk penjara. Itu cara pemerintah mengambil kebijakan dan mempersiapkan stok dan harga.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...