Kesepakatan Freeport, Patut Disyukuri atau Disesali?

Metta Dharmasaputra
19 Juli 2018, 09:31
Metta
Ilustrator: Betaria Sarulina
Menteri ESDM Ignasius Jonan (kiri), Menteri Keuangan Sri Mulyani (kedua kiri), Menteri BUMN Rini Soemarno (kedua kanan) dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya (kanan) menyaksikan penandatanganan nota pendahuluan perjanjian oleh Direktur Utama PT Indonesia Asahan Aluminium Budi Gunadi (ketiga kanan) dan Presiden Direktur Freeport McMoran, Richard Adkerson (kedua kiri) terkait pokok-pokok kesepakatan divestasi saham PT Freeport Indonesia di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Kamis (12/7). Perjanjian a

DI TENGAH suhu politik yang mulai memanas, kabar divestasi Freeport seperti memantik api. Reaksi pro-kontra langsung meletup, menanggapi kesepakatan awal antara PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), Freeport McMoRan Inc. (FCX) dan Rio Tinto.

Perjanjian pendahuluan berbentuk Head of Agreement (HoA) itu ditandatangi pada Kamis (12/7) lalu. Sesuai kesepakatan, total kepemilikan Inalum di PT Freeport Indonesia (PTFI) nantinya mencapai 51 persen. Dengan begitu, kepemilikan nasional di perusahaan tambang emas ini meningkat 5,5 kali lipat dari saat ini yang hanya 9,36 persen.

Advertisement

Tambahan kepemilikan itu tentu tak gratis. Inalum harus mengeluarkan dana US$ 3,85 miliar atau sekitar Rp 54 triliun. Sebesar US$ 3,5 miliar untuk membeli hak partisipasi (participating interest) Rio Tinto di PTFI. Sisanya US$ 350 juta untuk membeli seluruh saham FCX di PT Indocopper Investama, pemilik 9,36 persen saham PTFI.

Perjanjian jual-beli diharapkan rampung seluruhnya sebelum akhir tahun ini. Namun, perdebatan telanjur merebak. Sejumlah isu dipersoalkan. Waktu pembelian, keuntungan yang didapat, harga yang harus dibayarkan, dan mengapa harus via Rio Tinto. Mari kita bahas satu per satu.

Kenapa sekarang?

Banyak pertanyaan mengapa harus dibeli sekarang? Kenapa tidak menunggu masa kontrak karya Freeport berakhir pada 2021, sehingga bisa diperoleh dengan gratis?

Jika ditilik secara teliti isi kontrak karya Freeport yang dibuat pada 1991, ternyata tak ada jaminan divestasi 51 persen saham itu akan dilakukan. Benar bahwa kontrak akan berakhir pada 2021. Namun, ada kesempatan bagi pihak Freeport untuk mengajukan perpanjangan masa kontrak dua kali 10 tahun.

Dalam pasal 31 ayat 2 kontrak tersebut juga disebutkan bahwa pemerintah tidak akan menahan atau menunda persetujuan secara tidak wajar. Atas dasar inilah, Freeport selalu beranggapan, tak ada alasan untuk tidak memperpanjang kontrak mereka.

Hal lain yang memberatkan, di kontrak tersebut ada juga klausul yang menyebutkan bahwa jika ada ketentuan pengalihan saham yang lebih ringan, maka aturan baru itulah yang akan berlaku.

Dalam perjalanannya kemudian, itu yang memang terjadi. Tiga tahun setelah kontrak diteken, keluar Peraturan Pemerintah (PP No. 20/1994) di era Presiden Soeharto. Isinya keringanan kewajiban divestasi saham bagi perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA).

Beleid ini dipertegas oleh surat Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada 20 Maret 1997. Disebutkan bahwa FCX dapat menggunakan PP itu untuk meringankan kewajiban divestasinya.

Tarik-ulur pun terus terjadi. Berdasarkan PP 77/2014, kewajiban divestasi itu sempat menurun menjadi 30 persen. Namun, ketentuan itu direvisi melalui PP 1/2017 yang kembali mengharuskan divestasi hingga 51 persen ke pihak nasional.

Perubahan-perubahan ini tentu saja membuat pihak Freeport tak happy, dan bukan tanpa risiko bagi pemerintah. Salah melangkah, bisa-bisa berujung sengketa di peradilan arbitrase internasional. Indonesia dianggap mencederai prinsip sakralitas kontrak (the sanctity of contract).

Ancaman ini tak bisa dipandang sebelah mata. Kita pernah merasakan betul pahitnya harus membayar denda US$ 261 juta, ketika PT Pertamina (Persero) kalah dalam kasus sengketa proyek PLTP Karaha Bodas Company yang dimulai pada 1994. Keputusan arbitrase itu pun dikuatkan oleh Pengadilan Amerika Serikat.

Risiko ini yang juga dijelaskan oleh Prof. Mahfud MD ketika berdebat dengan Fadli Zon, politisi Partai Gerindra, dalam acara talkshow di TVOne. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini menjelaskan adanya celah di Kontrak Karya itu, yang diperolehnya dari mantan Menteri ESDM Sudirman Said.  

Itu sebabnya, negosiasi merupakan jalan terbaik. Saran senada disampaikan oleh Prof. Joseph E. Stiglitz ketika datang ke Jakarta pada 2007 silam. Yang perlu dilakukan, kata peraih peraih Nobel ekonomi ini, adalah renegosiasi untuk mendapatkan bagi hasil yang lebih adil. Bukan nasionalisasi.

Freeport
Freeport (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

Untung atau buntung?

Hal lain yang perlu dijadikan bahan pertimbangan, pengoperasian tambang terbuka (open pit) di Grasberg yang selama ini dijalankan Freeport sudah akan berakhir tahun depan. Penambangan akan berpindah ke tambang bawah tanah (underground mining).

Untuk mendukung masa transisi ini hingga 2022, dana investasi yang dibutuhkan tak kecil. Sekitar US$ 5 miliar. Persoalannya, jika tak kunjung ada kepastian perpanjangan kontrak, apalagi jika berujung sengketa di arbitrase, maka investasi ini tersendat.

Dampaknya proyek terancam mangkrak. Area tambang bawah tanah ini pun terancam longsor. Dan jika ini terjadi, biayanya akan sangat mahal. Dengan kata lain, ada faktor keterdesakan waktu.

Perlu juga dicatat, metode penambangan tertutup dengan block caving di Grasberg ini merupakan yang terumit dan tersulit di dunia. Itu sebabnya, meski nantinya Indonesia menguasai 51 persen saham PTFI, pengoperasian tambang akan tetap di tangan FCX.

Bagi kepentingan nasional, keberlanjutan tambang Freeport memang terbilang penting. Kontribusinya cukup signifikan secara ekonomi.

Studi LPEM-UI pada 2015 menyebutkan, sekitar 94 persen produk domestik regional bruto (PDRB) Kabupaten Mimika dan 34 persen PDRB Provinsi Papua bersumber dari Freeport. Selain itu, menciptakan 230 ribu lapangan kerja.

Halaman:
Metta Dharmasaputra
Metta Dharmasaputra
Co-founder, CEO Katadata
Editor: Yura Syahrul

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement