Insentif untuk Mengubah Perilaku di Bandara

Mohamad Ikhsan
Oleh Mohamad Ikhsan
23 Desember 2018, 08:00
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Mohamad Ikhsan
Ilustrator Katadata/Betaria Sarulina
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Mohamad Ikhsan

Rute penerbangan Semarang-Jakarta dapat ditempuh dalam waktu hanya 50 menit. Namun perjalanan jarak pendek tersebut dapat bertambah hingga satu jam karena pesawat harus berputar di atas Cirebon untuk menunggu slot mendarat.

Keterlambatan lebih parah lagi saat Anda akan terbang dari Bandara Soekarno Hatta. Penumpang harus menunggu hingga 1 jam 30 menit di dalam pesawat karena antrean terbang.

Advertisement

Keterlambatan ini kerap dianggap akibat keterbatasan infrastruktur. Sehingga muncullah gagasan untuk membangun landasan ketiga, yang kenyataannya tidak mudah untuk direalisasikan.

(Baca juga: Menularkan Revolusi Industri Penerbangan ke Angkutan Laut)

Menurut saya, sebagian penyebab kemacetan di landasan pacu Bandara Soekarno-Hatta tidak sepenuhnya disebabkan oleh persoalan infrastruktur. Tetapi berkaitan dengan sistem insentif yang salah selama ini.

People respond to incentive. Masyarakat akan mengubah perilakunya jika diberikan insentif. Kira-kira begitulah pesan pokok yang disampaikan oleh Steve Levitt dan Stephen Dubner dalam seri top book seller Freakonomics. (1)

Prinsip yang sama juga disampaikan dalam semua buku teks Ilmu Ekonomi yang digunakan oleh mahasiswa tingkat pertama di Fakultas Ekonomi di universitas seluruh dunia. Salah satu buku teks Ilmu Ekonomi yang paling populer Economics dari Profesor Mankiw dari Harvard University menuliskan :

All of economics rests on one simple principle: that incentive matter. Altering incentives, the costs and benefits of making specific decisions, alter people’s behavior. The fundamental lessons about individual decision making are that people face tradeoffs among alternative goals, that the cost of any action is measured in terms of forgone opportunities, that rational people make decisions by comparing marginal costs and marginal benefits, and that people change their behavior in response to the incentives they face. Understanding incentives is an extremely powerful tool for understanding why people do the things they do because the impact of incentives can be seen on almost every level, from simple family decision making to securities markets and international trade.

Kebijakan Tarif Air di Tiongkok

Koran Bisnis terkemuka Wall Street Journal edisi Asia tanggal 8 Januari 2004 mengumumkan bahwa Tiongkok akan menaikkan harga air (water charge) untuk pengguna utama air termasuk pertanian dalam rangka mengantisipasi kelangkaan air.

Pengambil keputusan di Tiongkok berharap dengan menaikkan water charge terjadi penghematan penggunaan air sehingga krisis air di negara itu dapat dihindari. Dengan menaikkan tarif air, maka masyarakat akan berpikir berulang kali jika membuang air sembarangan karena bernilai moneter yang lebih tinggi.

Mengubah sistem insentif itulah yang dilakukan Tiongkok untuk menyelamatkan masa depan. Insentif yang salah menjelaskan pula tentang kegagalan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di hampir semua kota di Indonesia yang tidak mampu memenuhi permintaan masyarakat.

Tarif yang terlalu rendah menyebabkan PDAM tidak mampu menghasilkan penerimaan yang cukup dalam mengembangkan jaringannya. Selain itu menyebabkan the outsider (rumah tangga yang tidak memiliki koneksi terhadap air bersih) harus membayar kebutuhan air minum lebih dari lima kali dari harga ekonomisnya. Sebaliknya, kelompok yang terkoneksi menggunakan air minum dalam volume yang berlebihan.

Dosis Insentif yang Tepat

Tidak semua insentif berjalan seperti yang diinginkan. Ekonom Uri Gneezy dan John A. List dalam bukunya The Why Axis menunjukkan hasil eksperimen mereka dalam melihat respons masyarakat terhadap penggunaan insentif.

Mereka bercerita tentang jumlah orang tua yang terlambat menjemput anaknya meningkat saat sebuah penitipan anak (day care) di Chicago, Amerika Serikat, mengenakan denda atas setiap menit keterlambatan. Mengapa demikian? Usut punya usut penyebabnya ada dua.

Pertama, pemberlakuan denda mengubah hubungan kontraktual antara pihak penitipan anak dan orang tua. Keterlambatan setelah perlakuan denda kini menjadi sah atau ditoleransi sepanjang konsumen membayar denda.

Kedua, dendanya terlalu kecil sehingga konsumen menghitung biaya manfaat pada saat melakukan tindakannya. Karena keterlambatan dianggap sah, orang tua tidak perlu menyetir dengan terburu-buru atau melanggar peraturan lalu lintas saat menjemput anaknya ke tempat penitipan anak.

Para orang tua menghitung biayanya (denda) relatif kecil dibandingkan ongkos yang mungkin dikeluarkan apabila terjadi kecelakaan atau dikenakan denda polisi lalu lintas.

Pesan yang kita pelajari dari kasus ini adalah dalam menyusun sistem insentif dosisnya harus tepat. Jika tidak, hasil yang tidak diinginkan justru terjadi.

Penalti pun tidak punya arti apa-apa jika tidak diberlakukan secara tegas. Pemda DKI menerbitkan peraturan daerah (perda) tentang larangan merokok di tempat umum dan dalam gedung sejak beberapa tahun lalu.

Halaman:
Mohamad Ikhsan
Mohamad Ikhsan
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Editor: Yuliawati

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement