Penetrasi Go-Pay Harusnya Bisa Lebih Cepat daripada Alipay

Yuliawati
Oleh Yuliawati
13 Januari 2019, 09:58
CEO Go-Pay Aldi Haryopratomo
Ilustrator Katadata/Betaria Sarulina
CEO Go-Pay Aldi Haryopratomo

PT Aplikasi Karya Anak Bangsa atau Go-Jek memfokuskan pada pengembangan Go-Pay sejak setahun terakhir. Fokus itu terlihat dengan mengakuisisi tiga startup layanan teknologi keuangan lokal yakni Kartuku, Midtrans, dan Mapan untuk memperkuat Go-Pay pada akhir 2017.

CEO Go-Jek Nadiem Makarim kemudian mengangkat pendiri Mapan, Aldi Haryopratomo, 36, sebagai CEO Go-Pay. Aldi dan Nadiem sama-sama alumni Universitas Harvard. “Misi kami sama, membangun Indonesia dari bawah," kata Aldi dalam wawancara khusus dengan Tim Katadata.co.id di kantornya, Jakarta Selasa (8/1).

(Baca juga: Go-Pay Rangkul 240 Ribu Mitra, Sepertiganya UMKM)

Ia memiliki pengalaman panjang dalam mengembangkan usaha keuangan ekonomi mikro. Pada 2009, dia membangun startup RUMA atau Rekan Usaha Mikro Anda untuk menjangkau pedagang kecil yang berjualan pulsa listrik, telepon seluler, hingga layanan cicilan kredit. Belakangan, lahir Arisan Mapan yang kini memiliki 2,3 juta orang pengguna dan terbagi dalam 180 ribu kelompok arisan.

(Baca juga: Mapan, Aplikasi Arisan Barang yang Memikat Gojek)

Lewat Go-Pay dan Mapan, Aldi hendak merealisasikan cita-cita tokoh idolanya Bung Hatta dalam mengembangkan ekonomi kerakyatan. “Selama ini mimpi Bung Hatta susah dicapai karena teknologi belum sampai,” kata Aldi. Go-Pay saat ini memiliki sekitar 240 ribu mitra, di antaranya 95 ribu merupakan UMKM.  Berikut wawancara lengkap Aldi dengan Katadata.co.id:

Apa yang membuat Anda menerima tawaran Go-Jek mengakuisisi Mapan? 

Pertama karena satu misi untuk membangun ekonomi Indonesia dari bawah. Kedua, bergabung dengan Go-Jek menjadi semakin komplet sebagai organisasi karena fokus bukan pada satu produk tapi pada UMKM yang mau kami tumbuhkan.

Saat saya membangun Arisan Mapan, fokusnya sudah dari bawah. Saya sudah bergerak di usaha mikro sejak 2006, sejak masih bekerja di Kiva (perusahaan keuangan mikro berbasis di San Fransisco, AS). Saya melihat bahwa bila hendak membangun ekonomi Indonesia dari bawah harus mengetahui budaya Indonesia yakni gotong royong antar masyarakat.

Sebenarnya rasa kekeluargaan itu ada harganya. Sebagai contoh, sebuah keluarga di desa yang terdiri dari tujuh bersaudara harus bergantian menggunakan panci selama tujuh hari untuk masak rendang saat lebaran.

Dengan ikut Arisan Mapan, mereka kemudian mengumpulkan Rp 50 ribu per bulan selama lima bulan untuk mendapatkan panci. Sementara bila membeli panci yang sama dengan kredit mereka harus membayar Rp 650 ribu. Dari arisan panci kami bergerak ke barang yang lain, seperti rice cooker, lemari, bahkan kami sampai menjual pakaian dalam.

Kami tidak hanya membantu dengan menjual barang tapi juga membuat kebiasaan keuangan yang berbeda. Sekarang mereka terbiasa menabung (untuk mendapatkan barang), bukan dengan kredit.

Pengalaman dan pemahaman di Arisan Mapan dibawa juga ke Go-Pay?

Betul. Arisan Mapan juga berevolusi, awalnya kami menjual pulsa telepon dan listrik dan berkembang menjadi bermacam-macam. Barang yang tersedia melibatkan produksi dari desa, seperti seprai yang dijual antar anggota arisan lainnya. Bayangkan kalau ekonomi Indonesia bisa dari desa ke desa.

Nah semua ini membuat saya terekspos dengan beragam jenis UMKM. Saya mendapatkan pemahaman bagaimana UMKM me-manage sebuah jaringan besar dan membuat ekonomi yang riil, bukan hanya dari atas ke bawah, tapi dari bawah ke atas. Hal ini yang saya bawa ke Go-Pay.

Indonesia berbeda dengan negara lain, mayoritas masyarakatnya masih banyak unbanked. Di negara lain di mana e-money dimulai, kebanyakan mayarakatnya sudah memiliki akses ke perbankan. Sehingga otomatis e-money dan bank saling bersaing.

Di sini terbalik, justru kesempatan terbesarnya untuk membuat ekonomi digital naik dari bawah. Jadi misi kami di Go-Pay bagaimana membangun ekonomi Indonesia dari bawah.

Seperti apa tantangan mendekati masyarakat menengah ke bawah?

Menurut saya yang pertama adalah kepercayaan. Saya pernah menemui warga satu desa di Ungaran, Semarang yang menabung selama setahun buat lebaran. Namun uang desa sekitar Rp 80 juta dibawa kabur. Warga desa rentan termarginalisasi. Sehingga saat kami memulai bisnis harus menjaga kepercayaan.

Kedua, membuat mereka punya mimpi yang lebih besar. Seperti tempat makan favorit saya Nasi Goreng Apjay, kini ada di foodcourt Pasaraya, juga kuliner lokal lainnya. Kami beri mereka kesempatan ke mal, dan menggunakan sistem pembayaran digital, sehingga mereka tidak pusing uangnya hilang. Mereka juga bisa mendapat pinjaman. 

Karena kami perusahaan Indonesia, yang kami inginkan bagaimana membuat yang di bawah bisa naik.  Membuat sebuah siklus dengan juara lokal membuat juara-juara lokal lainnya.

Ada target jumlah UMKM yang akan menjadi bagian ekosistem Go-Pay?

Mimpi saya semuanya bergabung. Indonesia kan hampir 90% pekerjanya di sektor UMKM dan bagaimana mereka memakai Go-Pay.

Dengan begitu bisa tercipta sistem membuat UMKM dapat maju. Bagi kami, yang penting bukan penggunaan Go-Pay tapi dampak Go-Pay terhadap kemajuan UMKM termasuk keluarga dan karyawan UMKM tersebut.

Dengan DNA usaha kami, Go-Jek kan awalnya bukan perusahaan transportasi tapi membantu driver untuk berkembang. Mapan bukan perusahaan panci tapi membantu kelompoknya maju.

Saya sejak dari dulu terobsesi dengan UMKM dan pasarnya juga sangat besar. Apalagi sekarang , saya lihat pemerintah dan bank sangat mendukung. Jadi ibaratnya Mestakung, Semesta Mendukung.

Nadiem pernah menyatakan “tahun 2018 adalah tahunnya Go-Pay.” Sejak ada QR Code, Go-Pay dapat digunakan online dan offline. Bagaimana strategi selanjutnya?

Menurut saya kami baru mulai tahun kemarin. Memang tahun lalu kami berkembang sangat pesat, awalnya Go-Pay hanya di aplikasi sekarang ada di mana-mana. UMKM sekarang sudah mulai memakai Go-Pay. 

Ke depan, saya rasa temanya masih sama. Bukan mengubah yang sudah ada, tapi membuat Go-Pay lebih banyak lagi yang menggunakan. Sekarang mungkin baru berapa persen dari yang kami targetkan.

Kami masih bisa tumbuh berlipat-lipat. Terutama yang kelas menengah ke bawah. Karena bagaimana pun produk yang baru muncul pasti digunakan kalangan menengah dulu.

Halaman:
Reporter: Desy Setyowati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...