Menakar Kelanjutan Visi Maritim Jokowi

M Riza Damanik
Oleh
2 Februari 2019, 10:00
M Riza Damanik
Ilustrator Katadata/Betaria Sarulina
M Riza Damanik

Sebagai petahana pada Pilpres 2019, Presiden Joko Widodo tidak saja mendapat sorotan atas kinerjanya empat tahun terakhir. Dia juga memperoleh perhatian atas apa yang akan dilakukannya lima tahun ke depan, termasuk di bidang kemaritiman.

Poros Maritim Dunia, sejak pertama kali dikumandangkan 2014 silam, berhasil menyajikan kebaruan, “magnet”, sekaligus corak pembeda antara calon Presiden Jokowi dan Prabowo Subianto kala itu. Namun pada Pemilu 2019 kali ini, sebagian kalangan justru menilai visi maritim Jokowi tidak sekokoh saat mencalonkan diri pada 2014.

Ihwalnya sederhana. Frasa Poros Maritim Dunia tidak ditemukan di dalam dokumen visi-misi yang diberi judul Meneruskan Jalan Perubahan untuk Indonesia Maju: Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong tersebut. Lalu, penggunaan kata: maritim, kelautan, nelayan, termasuk tol laut dinilai sangat minim, masing-masing hanya ditemukan satu atau tiga kali saja. Pendapat ini sah, namun tidak lengkap.

Fondasi

Meski belum sempurna, pemerintahan Joko Widodo telah menancapkan jangkar kemaritiman yang kokoh kurun empat tahun terakhir. Pertama, meyelamatkan kekayaan sumber daya laut, tidak terkecuali perikanan. Pasalnya, selama berpuluh-puluh tahun, kapal-kapal ikan asing seolah tak pernah jera mencuri ikan di perairan Indonesia. Sekarang, praktik merugikan nelayan Indonesia itu tidak lagi mudah dilakukan.

Laporan Kementerian Kelautan dan Perikanan RI menyebutkan mulai dari November 2014 hingga Agustus 2018 sebanyak 488 kapal pencuri ikan ditenggelamkan. Saat ini, sesuai Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 50 Tahun 2017, potensi lestari ikan di laut Indonesia mencapai 12,5 juta ton. Padahal sebelumnya, berpuluh-puluh tahun potensi ikan Indonesia hanya satu digit: sekitar 5, 6, atau 7 juta ton saja.

Fondasi kedua adanya Kebijakan Kelautan Indonesia.

Laut Indonesia terlalu luas untuk dikelola oleh satu-dua orang saja. Bahkan, pekerjaan rumahnya terlalu berat untuk diselesaikan oleh satu-dua rezim pemerintahan. Celakanya, selama berpuluh-puluh tahun, tak ada “peta jalan” yang memastikan agar kerja besar dan berat tersebut diselesaikan secara terencana, tuntas, dan berkesinambungan oleh tiap-tiap rezim pemerintahan.

Setelah lebih 70 tahun merdeka, baru kali ini Indonesia memiliki dokumen pemandu pembangunan kelautan melalui Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia.

Fondasi ketiga adalah konektivitas laut.

Sebagai negara kepulauan-tropis terbesar dan khas Indonesia, konektivitas antarpulau menjadi salah satu kunci pengamalan sila ke-5 Pancasila: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Pembangunan yang berpusat di Pulau Jawa selama berpuluh-puluh tahun telah menjauhkan masyarakat di pulau kecil, di pulau terdepan, dan di Timur Indonesia untuk mendapatkan layanan: transportasi antarpulau yang layak dan biaya logistik yang rendah.

Halaman:
M Riza Damanik

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...