KATADATA - Pada 10 Desember 2015, kesepakatan prinsip atau Principle of Agreement (PoA) di Blok East Natuna akan berakhir. PT. Pertamina, selaku pemimpin konsorsium blok minyak dan gas bumi tersebut, sedang membahas syarat dan ketentuan mengenai kontrak bagi hasil (PSC) dengan beberapa mitranya.
Saat ini, perusahaan pelat merah itu memiliki saham 35 persen. Besarnya sama dengan saham yang dikuasai ExxonMobil, perusahaan asal Amerika Serikat. Sisanya dimiliki oleh PT. Total E&P Indonesie dan PTT Thailand masing-masing 15 persen.
Senior Vice President Upstream Strategic Planning and Operation Evaluation Pertamina Meidawati belum bisa memastikan waktu penandatanganan kontrak. Selain masih membahas syarat dan ketentuan perjanjian, Pertamina juga sedang mengevaluasi aset yang mencakup teknis, manajemen risiko, dan komersial dengan mitra kerja tersebut. "Diharapkan Desember 2015 ada keputusannya," kata Meidawati.
Sebenarnya, blok ini sudah diserahkan ke Pertamina pada 2 Juni 2008 melalui Surat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 3588/11/MEM/2008. Namun sampai saat ini belum ada kontrak bagi hasil antara Pertamina, serta mitranya, dan pemerintah. (Baca juga: Fokus ke Proyek IDD, Chevron akan Lepas Blok B di Laut Natuna).
Melihat sejarahnya, wilayah kerja migas yang dulu bernama Blok Natuna D-Alpha ini pertama kali dieksplorasi oleh Agip pada 1973. Perusahaan Italia ini menemukan struktur lapisan yang berpotensi mengandung gas. Namun di kemudian hari blok ini diserahkan kembali kepada Indonesia.
Pemerintah kemudian memberikan kontrak PSC kepada Esso pada 1980. Anak perusahaan Exxon tersebut kemudian bermitra dengan Pertamina. Dalam kurun 10 tahun sejak 1984 dilakukan data uji seismik dan studi geologi. Hasilnya, diperkiraan volume gas di tempat atau Initial Gas in Place (IGIP) sebesar 222 trillion cubic feet (TCF), dan cadangan terbuktinya 46 TCF. Dari jumlah itu, kandungan gas CO2 begitu besar mencapai 70 persen.
Pada 1995, setelah ada beberapa penambahan area untuk pengolahan gas buang yang tidak terpakai (waste gas disposal), kontrak PSC kembali diperpanjang. Dengan merger antara Exxon dan Mobil Oil menjadi ExxonMobil membuat nama ExxonMobil lebih dikenal sebagai penggarap Blok Natuna D-Alpha.
Kontrak yang ditandatangani pada 1995 tersebut berakhir pada 2005. Di masa tenggat akhir, kontrak ExxonMobil dinyatakan terputus. Pemerintah beralasan ExxonMobil tidak mengajukan program pengembangan lapangan (PoD) seperti yang diwajibkan dalam kontrak PSC. Akibat pelanggaran ini, kontrak ExxonMobil secara otomatis dinyatakan berakhirpada 9 Januari 2005.
Menanggapi keputusan tersebut, ExxonMobil menampiknya. Mereka berdalih telah mengajukan surat komitmen untuk pengembangan struktur AL, satu di antara area Blok Natuna. Dengan demikian ExxonMobil mengklaim telah menyatakan kesanggupan untuk melanjutkan pengembangan.
Di sisi lain, Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas, nama SKK Migas ketika itu, menyatakan pengembangan oleh ExxonMobil akan sulit memenuhi kelayakan komersial. Pasalnya, banyak kendala yang dihadapi. BP Migas juga menilai penafsiran atas PSC Section II Pasal 2.2 ayat B menunjukkan surat komitmen tidak cukup sebagai rujukan untuk menghindari berakhirnya kontrak.
Tiga tahun kemudian, banyak perusahaan yang berminat terhadap Blok Natuna. Setidaknya ada tujuh perusahaan melayangkan surat ketertarikan di luar ExxonMobil. Mereka yaitu Total Indonesie dari Perancis, Chevron Amerika, StatOil Norwegia, Shell Inggris-Belanda, dan ENI dari Italia. Lalu korporasi Asia di antaranya Petronas dari Malaysia dan China National Petroleum Corporation.
Ketika itu, tarik-menarik untuk mengelola Blok Natuna cukup "panas". Misalnya, kunjungan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada Februari 2009 ke Belanda dimanfaatkan oleh Shell untuk membangun lobi. Vice President Carbon Dioxide Shell International, Bill Spence, mengatakan memiliki teknologi untuk memisahkan kadar karbon dioksida hingga 90 persen. Ini yang menjadi jualannya. Namun, upaya Shell, juga perusahaan-perusahaan yang lain, waktu itu kandas di tengah jalan
Pemerintah tetap mengambil alih Blok Natuna dan menyerahkan ke Pertamina. Perusahaan negara ini kemudian sepakat menggandeng kembali ExxonMobil, lalu Total E&P Indonesie dan PTT Thailand. Pada 19 Agustus 2011, mereka menandatangani PoA eksplorasi dan eksploitasi wilayah East Natuna. Dalam PoA tersebut, Pertamina meminta perlakuan khusus mengingat kandungan gas CO2 di wilayah itu sangat tinggi.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi I.G.N. Wiratmaja Puja membenarkan kandungan karbon dioksida di Blok tersebut sangat besar. Hal itulah yang menjadi kendala belum dilakukannya penandatanganan kontrak PSC. "Belum ekonomis untuk dikembangkan," kata dia kepada Katadata, Selasa, 3 November 2015.
Dengan teknologi saat ini, pengembangan blok tersebut akan menarik bila harga minyak di atas US$ 100 per barel. Karena itu, Wiratmaja belum bisa memastikan kapan kontrak PSC akan ditandatangani. Menurut dia, sampai saat ini pemerintah sedang mencari solusi terbaik untuk mengembangkannya.
Hal berbeda dikatakan Pri Agung Rakhmanto. Pengamat Energi dari Reforminer Institute ini menilai terlalu dini jika menyimpulkan blok tersebut tidak ekonomis. Dengan cadangan terbukti sebesar 46 tcf, merupakan bukti Blok tersebut sangat strategis.
Bahkan, jika setengah dari 46 tcf merupakan CO2, cadangan tersebut masih lebih besar dari Blok Masela. Blok yang sedang diributkan Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli dan SKK Migas serta Menteri Energi Sudirman Said ini hanya memliki cadangan 10,7 tcf. "Itu cadangan gas proven terbesar yang dimiliki Indonesia saat ini. Untuk masa depan gas nasional, itu sangat menjajikan," ujar dia.
Tidak hanya itu, jika dilihat dari posisinya, Blok East Natuna sangat strategis bagi Indonesia. Hal itu disetujui oleh praktisi industri migas Gamil Abdullah. Menurut dia, dari aspek geopolitik, posisi Blok Natuna dan keberadan Pertamina sangat penting. (Baca pula: ConocoPhilips Tengah Menakar Minat Calon Pembeli Blok B).
Blok East Natuna terletak di perairan Laut Natuna dan sudah berada di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif, yaitu jalur laut sepanjang 200 mil ke laut terbuka dari batas wilayah kemaritiman Indonesia. Di Zona Eksklusif ini, Indonesia mendapat kesempatan pertama memanfaatkan sumber daya di laut dan di bawahnya.
Di sebelah barat Natuna ada Malaysia dan Thailand. Sebelah utara ada Vietnam dan Cina. Lalu di sisi timur Filipina. Nah, kawasan Laut Cina Selatan sampai Blok Natuna, menurut Gamil, sangat rentan terhadap gejolak. Apalagi Cina dan Amerika Serikat kembali bersitegang setelah kapal perang Amerika berada di Laut Cina Selatan.
Dengan tetap menggandeng ExxonMobil, Gamil berpendapat secara psikologis pilhan Pertamina sangat tepat. Hal itu mengingat di belakang ExxonMobil adalah Amerika. "Dalam mapping energi, banyak hal yang tidak dapat dipecahkan secara tekno-ekonomi atau nasionalisme yang sempit saja. Kita harus tahu peta geopolitik dan kekuatan militer negara sekitar serta stabilitas geopolitiknya," ujar dia.