KATADATA - Dugaan kongkalikong dan keterlibatan mafia dalam pengadaan impor minyak mentah dan produk bahan bakar minyak (BBM) oleh Pertamina Energy Trading Limited (Petral) tampaknya sulit diproses secara hukum. Kemungkinan tersebut tecermin dari hasil audit forensik yang dilakukan KordaMentha terhadap anak usaha PT Pertamina (Persero) ini. Padahal, manajemen Pertamina sudah menyerahkan hasil audit itu kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam materi presentasi awal Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto soal hasil audit Petral pada awal pekan lalu, yang salinannya dimiliki Katadata, terungkap bahwa KordaMentha tidak menemukan bukti atau informasi adanya korupsi maupun suap yang diterima oleh para karyawan Petral. Kesimpulan itu berdasarkan hasil peninjauan (review) dokumentasi, data elektronik, wawancara, dan lain-lain. Pencarian bukti adanya korupsi juga sulit dilakukan karena auditor tidak berwenang membuka data-data rekening dan aset para karyawan Petral.
Sebaliknya, hasil audit Petral selama periode Januari 2012 hingga Mei 2015 itu hanya menemukan adanya penyimpangan dalam proses operasional perusahaan. Masalah itu berhulu dari perubahan kebijakan pimpinan Pertamina pada tahun 2012, yaitu pembelian minyak mentah dan produk minyak secara langsung dari perusahaan migas nasional (NOC) dan pemilik kilang. Kebijakan itu menimbulkan potensi inefisiensi dari sisi nilai dan volume. “Berdasarkan laporan auditor, potensi inefisiensi memang terjadi karena penambahan rantai suplai sehingga harga menjadi lebih mahal,” kata Dwi dalam materi presentasi tersebut.
Ada tiga faktor penyebab inefisiensi tersebut. Pertama, kebijakan Petral dalam proses pengadaan, mulai dari penentuan harga, volume dan pemilihan NOC yang tidak kompetitif. Kedua, kebocoran informasi rahasia. Ketiga, pengaruh pihak eksternal dalam proses bisnis Petral, seperti pemilihan mitra tak langsung dan proses negosiasi term and condition.
Meski begitu, dalam hasil auditnya, KordaMentha tidak menyebutkan secara spesifik apakah keterlibatan pihak eksternal tersebut adalah mafia migas atau bukan. Selain itu, hasil audit tersebut tidak menemukan bukti keterlibatan direksi lama perusahaan. “Tidak ada laporan auditor yang menyebutkan komunikasi secara langsung.”
(Baca: Pemerintah - Pertamina Siapkan Dua Opsi Penindakan Hasil Audit Petral)
Sebelumnya, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno mengatakan pemerintah bersama manajemen Pertamina menyiapkan dua langkah menyikapi hasil audit Petral tersebut. Pertama, langkah dari sisi internal perusahaan, seperti menindak para karyawan yang terbukti melakukan pelanggaran peraturan perusahaan. "Misalnya personil Petral yang terindikasi dalam audit itu, tentu kami akan proses sesuai ketentuan di perusahaan," ujar Dwi. Selain itu, memperbaiki sistem pembelian minyak mentah dan produk BBM yang selama ini tidak transparan dan menimbulkan biaya yang tinggi.
(Baca: Pertamina Serahkan Hasil Audit Petral kepada KPK)
Kedua, langkah hukum jika ditemukan adanya pelanggaran dan kerugian negara. Menurut Rini, keputusan mengambil langkah hukum akan dibahasnya bersama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said, serta dikonsultasikan terlebih dahulu dengan Presiden Joko Widodo. Sudirman juga mengungkapkan hal yang sama. “Kami sedang mengkaji, apakah temuan itu sudah layak dan memenuhi syarat untuk proses projustisia,” katanya, pekan lalu.
Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli mengatakan pemerintah akan memproses hasil audit Petral itu ke ranah hukum. "Bawa ke proses hukum. Biar jelas siapa yang harus bertanggung jawab," katanya, Kamis pekan lalu (12/11).
Berdasarkan informasi yang diperoleh Katadata dari beberapa sumber, sebenarnya di internal pemerintah belum satu suara untuk membawa hasil audit Petral itu ke ranah hukum. Pasalnya, bukti dan temuan audit tersebut belum cukup kuat untuk diselidiki lebih lanjut oleh penegak hukum, seperti KPK. Namun, dalam perkembangannya, Dwi mengaku telah mengirimkan hasil audit Petral kepada KPK, Senin lalu (16/11). “Kami telah menerima surat resmi dari KPK, Jumat lalu (13/11), yang meminta hasil audit Petral," kata Dwi.
Di sisi lain, sejumlah kalangan menganggap, tidak sulit membawa kasus penyimpangan di tubuh Petral dan Pertamina ke ranah hukum. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Hanura Inaz Nasrulloh Zubir menduga yang terlibat dalam kongkalikong tersebut bukan hanya oknum di Pertamina tapi juga di pemerintahan pada saat itu. "Jika tidak (ada kaitan dengan Pertamina), mana mungkin pengadaan impor minyak mentah dan BBM diserahkan kepada PES (Pertamina Energy Service Pte Ltd., anak usaha Petral) selama bertahun-tahun," katanya.
Sedangkan menurut Tommy Tumbelaka, pelaku industri migas dan punya kedekatan dengan Oiltanking GmbH, perusahaan storage minyak asal Jerman, menyarankan audit Petral sebaiknya dimulai sejak tahun 2007 hingga 2014 dan fokus pada dua item saja. Pertama, pemenang tender minyak yang dikuasai oleh segelintir NOC. Itu bisa dibuktikan dari kecocokan dokumen pengangkutan barang (bill of lading / BL) dengan original kargo asal NOC yang sama sebagai pemenang tender. “Pasti tidak sama berarti. Itu melanggar SOP Pertamina dan Keputusan Menteri BUMN, yang mengharuskan membeli minyak dari NOC,” kata Tommy kepada Katadata.
Kedua, membandingkan dokumen tender yang ada di Petral dengan harga pasar minyak saat itu. “Dua item ini saja kalau dilakukan audit forensik, pasti terbuka kasus hukumnya,” imbuh Tommy.