KATADATA - Teknologi digital semakin lekat dengan aktivitas masyarakat, terutama mereka yang tinggal di perkotaan. Gaya hidup pun berubah, dan dilihat sebagai peluang oleh para pelaku usaha. Mereka menawarkan beragam aplikasi yang memberikan kemudahan dan kecepatan untuk mendukung aktivitas dan kebutuhan hidup sehari-hari.

Nadiem Makarim salah satunya. Founder dan CEO Go-Jek Indonesia ini menceritakan, alasan pendirian Go-Jek didasarkan ketidaknyamanannya menggunakan alat transportasi untuk menembus kemacetan lalu lintas di Jakarta. Ojek sepeda motor dilihatnya sebagai salah satu solusi yang dapat dipilih. Persoalannya, ojek tidak mempunyai patokan tarif sampai keamanan yang tidak terjamin. 

Dari situlah, Nadiem membuat aplikasi seluler yang memudahkan masyarakat untuk menggunakan jasa layanan ojek dengan patokan tarif. Pengemudi pun diuntungkan karena tidak lagi berebut calon penumpang di pangkalan. Selain ojek, Go-Jek melebarkan layanannya ke pengantaran barang, pesan makanan, perpindahan barang, hingga layanan pijat.

“Salah satu hal yang mungkin menghadang pertumbuhan ekonomi adalah infrastruktur logistik dan itu bagian yang ditawarkan Go-Jek,” kata dia seusai menjadi pembicara “Indonesia Summit 2016” yang diselenggarakan media the Economist di Jakarta, Kamis (25/2) lalu.

Menurut dia, peluang pasar e-commerce  Indonesia sangat luar biasa, seiring penetrasi internet yang semakin tinggi. Ini memberikan kesempatan bagi talenta anak muda untuk membangun start up sendiri. Namun hal ini butuh dukungan pemerintah berupa pengurangan pajak. Dukungan tersebut lebih penting ketimbang menutup pasar dari investor asing.

“Tak usah menghadang pemain luar negeri, tetapi bantu yang ada di dalam negeri. Lihat saja semua start up yang berhasil sukses di Indonesia semuanya mengambil uang dari luar negeri. Tidak ada satu pun yang menunggu duit dari dalam negeri.”

(Nadiem Makarim: Perusahaan Perintis yang Sukses Dapat Dana dari Asing)

Raymond Siva, CEO Edelman Indonesia, mengatakan Indonesia bisa mengambil manfaat dari perkembangan dunia digital saat ini. “Lima tahun lalu perkembangan bisnis digital masih minim. Namun saat ini terbukti masyarakat sudah familiar dengan internet.” ujarnya.

Menurutnya, korporasi kini harus menjemput konsumen dengan layanan digital, tidak sekadar menunggu konsumen. “Misalnya dengan membuat kemudahan pembelian melalui aplikasi atau internet,” kata dia.

Pengguna smartphone di Indonesia merupakan salah satu yang terbesar di dunia, yakni setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Media TechinAsia menyebut Indonesia sebagai “raksasa teknologi” Asia Tenggara yang sedang tertidur.  Dengan tingkat produk domestik bruto (PDB) dan jumlah penduduk yang terbesar di kawasan ASEAN, pasar e-commerce­ Indonesia berpeluang untuk tumbuh semakin besar.

Pentingnya perkembangan digital bagi perekonomian Indonesia ini menjadi salah satu bahasan dalam “Indonesia Summit 2016” yang digelar The Economist. Menurut Jon Fasman, Kepala Biro The Economist di kawasan Asia Tenggara, perkembangan digital penting dibahas karena telah mengubah model bisnis. “Yang menarik, tak hanya bagaimana bisnis itu berkembang, tetapi mengubah model bisnis di Indonesia untuk terus tumbuh,” ujarnya.

Dwight Hutchins, Managing Director for Strategy Public Service for Accenture, mengatakan bertambahnya kelas menengah Indonesia membuat mereka beralih membeli produk premium. Beberapa produk consumer yang banyak diburu saat ini adalah produk kesehatan, makanan dan minuman, kesehatan, kecantikan. Dengan aplikasi digital, akan semakin memudahkan konsumen untuk mengakses produk korporasi.

“Digital ini bisa menjadi game changer karena 50 persen pemegang ponsel bisa mengakses aplikasi,” ujarnya.

(Baca: Asing Tertarik Investasi E-Commerce, Logistik dan Barang Konsumsi)

Selain untuk keperluan e-commerce, teknologi digital ini bisa digunakan untuk mengawasi jalur logistik. Metode yang biasa disebut internet of thing ini bisa dilakukan untuk mengecek logistik di pertambangan atau mengawasi stok barang. “Beberapa alat angkut seperti truk, kapal, bisa dipasang chip yang memberikan informasi mengenai jumlah keterisian barang,” ujarnya.

Di balik potensi besar bisnis e-commerce, banyak konsumen yang masih ragu dengan model bisnis ini. Adanya penipuan dan kurangnya transparansi membuat mereka berhati-hati dalam membeli produk secara online. Hal itu yang ditangkap oleh Matahari Mall yang menawarkan sistem online to offline (O2O). Lewat sistem itu, konsumen dapat memilih barang secara online kemudian mengambil atau mencoba produk secara offline di lokasi yang ditentukan seperti gerai Matahari dan tempat lain.

Menurut Vice Chairman Matahari Mall Lippo Rudy Ramawi, saat ini Matahari Mall melayani pelanggan di 450 kota di Indonesia. Dengan sistem O2O bisa mengurangi ketidakpercayaan konsumen ketika akan berbelanja online. Dia mengatakan, jika perdagangan di Indonesia dapat dijangkau secara digital, maka penjualan akan meningkat dan model bisnis lebih efisien. “Jadi diharapkan nantinya tidak ada e-commerce, tetapi perdagangan sudah tersambung secara digital,” katanya.

Reporter: Nur Farida Ahniar

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami