KATADATA - Infrastruktur menjadi ujung tombak pemerintah Presiden Joko Widodo. Ketika 2016 baru masuk beberapa pekan, sejumlah proyek sudah digenjot. Tak heran bila di awal tahun uang yang terkuras dari kas negara terbilang jumbo.

Setidaknya, per Februari lalu belanja pemerintah mencapai 12 persen dari target Rp 2.095,7. Belanja modal juga menyentuh Rp 5,4 triliun atau 2,6 persen dari angka patokan Rp 201,6 triliun. Realisasi ini naik empat kali lipat dibanding belanja modal periode yang sama tahun lalu Rp 1,3 triliun.

Untuk memenuhi kehausan dana tersebut, pemerintah gencar menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN). Di awal tahun, uang masyarakat yang terkumpul melalui skema ini mencapai Rp 102,2 triliun. Likuiditas di pasar pun terserap cukup besar. (Baca: Banyak Terbitkan Surat Utang, Pemerintah Jamin Likuiditas Aman).

Betapa menariknya produk pemerintah setidaknya terlihat dari penjualan sukuk yang dijajakan mulai pertengaha bulan lalu. Surat utang syariah ritel ini laris manis. Dana masyarakat yang tersedot Rp 31,5 triliun, melebih dari target indikatif Rp 30 triliun. Yang memborong sebagian besar pegawai swasta, pegawai negeri, hingga ibu rumah tangga.

Padahal, saat ini perbankan pun didorong untuk memperbesar penyaluran kredit ke sektor riil. Tumbuhnya sektor ini diharapkan dapat menggerakkan ekonomi yang masih lesu. Namun untuk bisa mengambil langkah tersebut, bank juga butuh sumber dana, satu di antaranya berupa dana pihak ketiga (DPK) yang berasal dari masyarakat. Di sini perbankan bersaing dengan pemerintah dalam memperebutkan dana publik.

Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Destry Damayanti menjelaskan, saat ini, rasio kredit terhadap simpanan atau loan to deposit ratio/LDR perbankan sudah mencapai 92 persen, tinggal delapan persen mendekati batas 100 persen. Kredit itu sebagaian terserap untuk membiayai pembangunan infrastruktur.

“Pasti akan berdampak karena ada dana yang mungkin sempat ketarik,” kata Destry dalam acara Prospek Ekonomi dan Pasar 2016 di Shangri-La, Jakarta, Senin, 14 Maret 2016. “Tapi jangka pendek. Dan kredit akan jadi lebih selektif.” (Baca juga: Likuiditas Mengetat, Bank Masih Sulit Pangkas Bunga).

Namun, menurut dia, percepatan pembangunan infrastruktur akan membawa uang tersebut kembali ke sistem perbankan. Indikasinya dari belanja modal yang sudah naik empat kali lipat dibanding Februari 2015, yakni menjadi Rp 5,4 triliun. Dengan begitu, ia yakin likuiditas akan membaik di kuartal kedua, begitu juga dengan penyaluran kredit.

Selain itu, masih ada ruang cukup besar terhadap kredit. Hal itu didapat ketika LDR, posisi saat ini 92 persen, ditingkatkan mencapai 100 persen. Dengan demikian membuka ketersediaan likuiditas hingga Rp 360 triliun yang bisa disalurkan ke kredit.

Destry yakin bank tetap akan menurunkan bunga deposito kendati likuiditas sempat mengetat. Seiring tingginya permintaan investor terhadap Surat Utang Negara (SUN), imbal hasil atau yield SUN pun akan menurun. Efek lanjutannya, bunga deposito turun mengimbangi makin rendahnya yield SUN. (Baca juga: Agresif Pangkas GWM, BI Dianggap “Kompromi” dengan Pemerintah).

Pekan lalu, Direktur Utama Bank Mandiri Budi Gunadi Sadikin memperkirakan sekitar Rp 95 triliun DPK keluar dari perbankan. Larinya uang nasabah itu bersumber dari dua hal. Pertama, karena ada perubahan skema penyaluran dana transfer ke daerah dalam bentuk nontunai seperti SUN. Aturan yang berlaku awal bulan ini menyebabkan sebagian dana pemerintah daerah yang mengendap di bank -dalam bentuk tabungan, giro, dan deposito- bakal menguap. Ia menghitung potensi menguapnya dana daerah dari brankas bank sekitar Rp 25 triliun.

Halaman:
Reporter: Desy Setyowati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement