Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menyusun skema gross split untuk kontrak baru minyak dan gas bumi (migas). Pemerintah semula berharap bisa menerapkan skema ini pada awal tahun 2017. Namun, rencana tersebut bakal sulit tercapai.

Berdasarkan informasi yang diperoleh Katadata, pemerintah masih perlu mematangkan konsep anyar tersebut. Selain berbeda dengan kontrak bagi hasil yang berlaku selama ini, skema gross split belum pernah digunakan di negara lain. Artinya, jika berjalan, Indonesia merupakan negara pertama yang menjalankan skema tersebut.

Namun, tekad pemerintah menerapkan skema gross split sudah bulat. Menteri Energi Jonan Ignasius Jonan mengungkapkan, skema tersebut merupakan arahan Presiden Joko Widodo. Tujuannya agar industri hulu migas semakin efisien tanpa adanya lagi penggantian biaya operasi hulu migas (cost recovery).

"Pasar dalam negeri memiliki kesempatan besar untuk bersaing, sebab harga minyak di dalam negeri lebih murah," kata Jonan di depan para pelaku industri migas dalam acara diskusi "Kinerja 2016 dan Outlook 2017 Sektor Migas" di Jakarta, Senin (19/12). 

PSC versus Gross Split

Indonesia selama ini menggunakan skema kontrak bagi hasil atau Production Sharing Contract (PSC). Skema PSC lahir karena adanya ketidakpuasan dengan sistem pertambangan migas di Indonesia yang sebelumnya yakni konsesi dan kontrak karya. (Baca: Luhut: Kontraktor Tak Bisa 'Mainkan' Produksi di Skema Gross Split)

Ide PSC tercetus dari Ibnu Sutowo, setelah menjadi Presiden Direktur PERMINA dan Menteri Minyak dan Gas Bumi tahun 1965. Dua pihak yakni pemerintah dan perusahaan minyak bisa berbagi hasil produksi migas, bukan bagi hasil penjualan migas seperti kontrak karya. Pemerintah selaku tuan rumah juga mempunyai kewenangan manajemen.

Skema PSC sudah mengalami beberapa perubahan. Yang saat ini dipakai merupakan generasi ketiga sejak 1988. Dalam skema ini, negara mendapatkan bagi hasil sebesar 85 persen, sisanya kontraktor. Sedangkan untuk kontrak gas, sebanyak 70 persen bagi negara.

PSC juga menerapkan cost recovery. Penggantian biaya operasi dilakukan setelah produksi migas dipotong First Tranche Petroleum. (Baca:Pengusaha Masih Keberatan Penetapan Skema Bagi Hasil Gross Split)

Namun, skema cost recovery ini kerap menimbulkan perdebatan. Penggantian biaya kepada kontraktor sering dipersoalkan dalam audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan dituding berpotensi merugikan negara.

Dalam menentukan besaran cost recovery,  juga kerap terjadi saling curiga antara kontraktor dan pemerintah yang diwakili oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas). “Siapa yang berkompeten menentukan nilai sebuah teknologi dan besaran cost recovery,” kata seorang pejabat di Kementerian Energi.

Untuk itu, pemerintah merancang skema kontrak baru yakni gross split.  Skema ini tidak lagi menyertakan komponen cost recovery. Alhasil, Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) akan menanggung seluruh biaya operasi hulu migas. Sebaliknya, pemerintah hanya mendapatkan pembagian produksi.  

gross split vs. PSC

Cara ini diklaim lebih efektif dan efisien karena tidak perlu lagi mengawasi anggaran cost recovery dan pemilihan teknologi yang digunakan.  Pemerintah cukup mengawasi besaran produksi. Apalagi, Kementerian Energi telah mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 39 Tahun 2016 yang mewajibkan pemasangan alat ukur produksi di setiap lapangan.  (Baca: Pelaku Migas Kaji Untung-Rugi Skema Bagi Hasil Gross Split)

Skema gross split sebenarnya juga bukan barang baru di industri hulu migas dalam negeri. Tahun lalu, Kementerian Energi menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 38 Tahun 2015 tentang percepatan pengusahaan migas nonkonvensional. Dalam aturan itu terdapat opsi skema bagi hasil dengan memakai gross split sliding scale.

Skema kontrak bagi hasil ini berdasarkan prinsip pembagian produksi kotor secara progresif setiap tahun. Jadi, tanpa mekanisme pengembalian biaya operasi.

Untuk blok migas konvensional, pemberlakuan skema ini hanya untuk kontrak migas baru. Alasannya, pemerintah akan tetap menghormati kontrak-kontrak migas yang tengah berjalan. Jadi, kontrak migas yang ada saat ini tidak akan diutak-atik dan masih menggunakan skema bagi hasil migas (PSC) hingga kontraknya berakhir.

Sebelum skema gross split berlaku untuk blok konvensional, pemerintah sedang merumuskan besaran bagi hasilnya. Dengan begitu, ada  formula yang jelas dalam menentukan besaran. Selama ini tidak ada alasan  yang cukup kuat untuk menentukan bagi hasil minyak untuk negara sebesar 85 persen, sedangkan gas 70 persen.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement