Ada olok-olok menyangkut perizinan yang selalu menjadi masalah usaha di Indonesia. “Kalau bisa sulit, kenapa dipermudah?" Pola pikir seperti ini sedang diberantas di sektor hulu minyak dan gas bumi lewat penyerdehanaan izin dan koordinasi antarkementerian dan instansi pemerintah.

Survei kemudahan berusaha (Ease of Doing Business/EoDB) 2017 menempatkan Indonesia di peringkat 91, naik dari posisi sebelumnya di 106. Namun, capaian itu masih jauh di bawah peringkat negara tetangga, seperti Malaysia, yang berada di posisi 23. Salah satu masalah utamanya adalah soal perizinan. 

Advertisement

Persoalan ini juga dihadapi sektor hulu migas. Didik S. Setyadi dalam pengantar bukunya yang bertajuk “Politik Hukum dan Dinamika Penerapan Hak Menguasai Negara atas Sumber Daya Alam dan Minyak Bumi” (2017) menyebutkan bahwa perizinan adalah salah satu inefisiensi paling nyata di sektor hulu migas. 

Perizinan ini juga salah satu potensi masalah untuk merealisasikan komitmen pengeboran eksplorasi. Pada 2015 ada 41 kegiatan pengeboran migas terhambat karena lamanya waktu perizinan dan pengadaan lahan. Bahkan, proses penyiapan pengurusan izin bisa memakan waktu lebih panjang ketimbang masa konstruksi yang waktu pengerjaannya 2-3 tahun.

Mengacu Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 29 tahun 2017, perizinan di hulu migas hanya ada dua, yakni izin survei  dan izin pemanfaatan data migas. Namun, menurut Didik yang juga sebagai Kepala Divisi Formalitas SKK Migas, izin tersebut hanya untuk pra-kegiatan eksplorasi.

Data terbaru, jika sudah memulai masa eksplorasi dan eksploitasi maka kontraktor migas harus berurusan dengan 373 perizinan yang terdiri dari izin, dispensasi, rekomendasi, persetujuan, pertimbangan teknis, sertifikasi dan sejenisnya.

Perizinan tersebut terbagi menjadi empat fase. Fase survei dan eksplorasi memiliki 117 perizinan, fase pengembangan dan konstruksi memuat 137 perizinan, fase produksi terdiri atas 109 perizinan dan fase pascaoperasi mencakup 10 perizinan.

Bukan hanya di Kementerian ESDM, 373 perizinan itu juga menjangkau 18 kementerian atau lembaga lainnya. Perinciannya, ada 74 perizinan di lingkungan Kementerian ESDM, 16 perizinan berada di Kementerian Keuangan, 36 perizinan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), sebanyak 76 perizinan di Kementerian Perhubungan, 3 perizinan di Kementerian Perindustrian, 11 perizinan berada di lingkungan Kementerian Perdagangan, dan 16 pengurusan perizinan pada Kementerian Ketenagakerjaan.

Ada juga 11 perizinan di Kementerian Kementerian Komunikasi dan Informatika. Kemudian masing-masing 4 perizinan di Kementerian Pertahanan dan Kementerian Hukum dan HAM, dan 2 perizinan di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Ada pula, 9 perizinan di TNI Angkatan Laut, 19 perizinan di Kepolisian, 3 perizinan di Badan Pertanahan Nasional, sebanyak 29 perizinan di tingkat Pemerintah Provinsi, 53 perizinan di Pemerintah Daerah, 3 perizinan pada Badan Pengawas Tenaga Nuklir, 2 perizinan di Kementerian Kelautan dan Perikanan dan dua izin pada swasta sebagai pemilik IUPHK (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu).

Didik mengatakan, ratusan perizinan di belasan kementerian dan lembaga negara itu sebenarnya banyak duplikasi. Jika duplikasi itu bisa digabungkan,  hanya ada 85 perizinan. Jadi, antarinstansi perlu berkoordinasi untuk mendukung kegiatan hulu migas. Apalagi, kegiatan migas adalah kegiatan pemerintah. “Tujuannya jelas untuk kepentingan negara dan kesejahteraan rakyat,” ujar Didik.

Hambatan kontraktor

Rumitnya perizinan di industri hulu migas ini diamini oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Saat peringatan Hari Pertambangan dan Energi pekan lalu, Senior Vice President Policy, Government & Public Affairs Chevron  Indonesia Yanto Sianipar mengeluhkan lamanya pengurusan izin di sektor migas. Akibatnya, kontraktor migas sulit memastikan investasi di Indonesia.

“Berapa banyak waktu yang kami habiskan hanya untuk membereskan masa yang tidak memberikan impact langsung pada produksi," kata Yanto.

Masalah perizinan juga disoroti perusahaan migas asal Inggris BP. Vice President Sales and Commercial BP Budi Aguswidjaja mengatakan selama ini perizinan migas masih diperlakukan sama dengan yang lain. Padahal bisnis di sektor hulu migas berkontrak dengan negara.

Sebagai contoh untuk mengurus izin kehutanan di Kementerian LHK dan penerapan asas cabotage di Kementerian Perhubungan. “Seharusnya kalau berkontrak dengan negara perlakuannya dibedakan. Bukan tidak harus dapat izin, tapi dapat perlakuan khusus seperti apa yang kami dapat di sektor kami sendiri  di Kementerian​ ESDM," kata Budi.

Hambatan lain menyangkut pembebasan lahan. Hal ini dialami oleh PT Rizki Bukit Barisan Energy yang mengelola Blok South West Bukit Barisan di Kabupaten Sijunjung. Pengembangan blok itu masih terganjal persoalan pembebasan lahan adat, meskipun komitmen eksplorasi sudah dilakukan.

Permasalahan lahan itu pun akhirnya masuk ranah pengadilan karena gubernur dan bupati tidak menyelesaikannya. Bahkan Menteri ESDM Ignasius Jonan pada Februari lalu juga sudah sempat diberi tahu masalah tersebut. Tapi, hingga kini belum ada penyelesaian.

Halaman:
Reporter: Miftah Ardhian, Anggita Rezki Amelia
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement