Sejak akhir tahun lalu tarif pesawat naik hingga dua kali lipat. Biasanya, tarif ini mulai turun setelah tahun baru. Namun, hingga pertengahan Januari 2019 tarifnya belum juga normal. Semua maskapai penerbangan domestik kompak, sehingga memunculkan dugaan adanya praktik kartel dalam industri transportasi udara.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan telah melakukan penelitian terhadap sejumlah maskapai terkait dugaan kartel dalam penentuan tarif penerbangan. "Untuk yang tarif tiket pesawat itu sudah sepekan lalu tim sudah bekerja, tapi untuk yang kargo per hari ini," kata Komisioner KPPU Guntur Saragih di kantornya, Senin (21/1).

Dia tidak mengungkapkan berapa lama proses penelitian ini akan selesai. Masih ada proses lanjutan yang akan dilakukan. Setelah proses pemeriksaan, KPPU bakal mengumpulkan data sekunder dan investigasi untuk memverifikasi ulang tentang informasi yang beredar. Dia juga belum bisa memastikan apakah sudah ada indikasi pelanggaran yang dilakukan maskapai dalam proses penelitian ini.

(Baca: Faisal Basri Minta KPPU Periksa Potensi Oligopoli Kenaikan Harga Tiket Pesawat)

Sebelum KPPU melakukan pemeriksaan, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Faisal Basri sudah menduga ada praktik yang tidak sehat dalam bisnis penerbangan. Dia mengendus adanya persekongkolan antara maskapai penerbangan dalam menentukan tarif. "Saya tidak menuduh. Tapi, perlu cek ke KPPU. Apakah ada potensi persekongkolan? Karena kompak, begitu satu naikkan (tarif), ya naik semua," ujarnya, Senin (14/1).

Indikasi ini tercermin dari tindakan maskapai penerbangan yang secara bersama-sama mengerek tarif. Saat masyarakat ramai-ramai mempermasalahkan harga tiket pesawat mahal, maskapai kompak menurunkannya kembali. Jumlah maskapai penerbangan terjadwal yang makin menciut juga berpotensi membuka kerja sama tarif antar perusahaan penerbangan.

Setelah Citilink mengambil alih operasional Grup Sriwijaya Air dan NAM Air, industri penerbangan nasional dikuasai oleh dua pemain besar. Mereka adalah Grup Garuda Indonesia (Garuda Indonesia, Citilink, Sriwijaya Air, dan NAM Air) serta Grup Lion Air (Lion Air, Batik Air, dan Wings Air).

Dengan kondisi ini, Faisal menilai pasar penerbangan di Indonesia sudah memasuki fase oligopoli. Pasar hanya dikuasai oleh sedikit pemain, sehingga mereka dengan mudah bisa memainkan harga. Praktik seperti ini melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Indikasi oligopoli bisa terlihat dari minimnya maskapai penerbangan yang melayani rute-rute tertentu, khususnya di luar Jawa. Ia mencontohkan penerbangan langsung dari Batam ke Jakarta lebih mahal ketimbang Singapura ke Jakarta. Karena hanya segelintir maskapai yang melayani rute tersebut. Sementara, harga tiket pesawat Singapura-Jakarta bisa lebih murah karena persaingan dengan maskapai internasional.

Belakangan heboh isu masyarakat Aceh yang beramai-ramai membuat paspor, agar bisa terbang ke Jakarta dengan ongkos yang murah. Alasannya, harga tiket dari Aceh ke Jakarta lebih mahal dibandingkan tiket ke Kuala Lumpur (Malaysia) kemudian ke Jakarta.

Menurut anggota Ombudsman RI Alvin Lie sebenarnya harga tiket internasional juga mahal. Namun, sejumlah negara tetangga memberikan insentif kepada pihak-pihak yang mampu membawa turis ke negara mereka. Salah satu sasarannya adalah maskapai penerbangan. "Di Singapura itu memberikan US$ 100 ribu, 50% tunai dan 50% dalam bentuk lain (promosi, iklan, dll.), untuk setiap rute per maskapai," ujarnya di Jakarta (15/1).

(Baca: Tiket Pesawat Mahal, Rini Pilih Turunkan Biaya Bandara daripada Avtur)

PENUMPANG PENERBANGAN DOMESTIK
(ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menepis dugaan adanya persekongkolan atau praktik kartel di industri penerbangan. Tidak ada kesepakatan antar satu maskapai dengan maskapai untuk membuat harga tiket menjadi mahal. Kenaikan tarif ini pun masih dalam rentang ambang tarif batas atas yang ditetapkan pemerintah. "Kalau menurut saya tidak (kartel)," ujarnya di Jakarta, Senin (21/1).

Seolah mendukung maskapai, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengatakan kenaikan tarif pesawat cukup wajar. Maskapai penerbangan melakukan langkah tersebut demi menjaga kinerja keuangannya tetap sehat dan tidak mengalami kerugian dalam jangka panjang. "Kalau (tarifnya) tidak disesuaikan, bisa saja kita nikmati hari ini. Tapi nanti kita tahu juga berapa maskapai yang akan bangkrut," ujarnya di Jakarta, Senin (14/1).

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami
Advertisement