Advertisement
Analisis | Tumpulnya “Jurus 3T” Melawan Covid-19 di Indonesia - Analisis Data Katadata
ANALISIS DATA

Tumpulnya “Jurus 3T” Melawan Covid-19 di Indonesia

Andrea Lidwina

27/08/2020, 13.00 WIB

Ilustrasi: Joshua Siringoringo

Hampir enam bulan pandemi melanda Indonesia, total Covid-19 sudah mencapai 150 ribu kasus. Indonesia pun menempati peringkat ke-23 dalam daftar negara dengan total kasus positif Covid-19 terbanyak di dunia.

  • Line Chats

Sudah hampir enam bulan pandemi Covid-19 melanda tanah air, tetapi kurva kasus positif belum menunjukkan tren melandai. Hingga 22 Agustus, total kasus telah melewati angka 150 ribu. Dalam sepekan terakhir (15-21 Agustus), terdapat rata-rata tambahan sekitar 2.041 kasus per hari.

Indonesia pun menempati peringkat ke-23 dalam daftar negara dengan total kasus positif Covid-19 terbanyak di dunia. Posisi itu sudah mengalahkan Tiongkok, pusat awal penyebaran virus, sekaligus menjadi kedua tertinggi di Asia Tenggara.

Ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk mengendalikan penularan virus corona, yakni 3T (Testing, Tracing, dan Treatment). Presiden Joko Widodo pun telah meminta bawahannya agar lebih agresif dan masif melakukan ketiga langkah tersebut dalam rapat kabinet pada 27 Juli lalu.

Ketiga aspek tersebut, menurut KawalCOVID19, bisa mengendalikan penyebaran virus kalau dilakukan dalam proporsi yang besar secara bersamaan. “3T saling memperkuat. Jadi akan percuma bila salah satu aspeknya lemah,” tulis tim independen itu dalam “Serial Data Virus Korona 1: 3T (Trace, Test, Treat)” di situsnya.

Namun bagaimana efektivitas dan seberapa masif pelaksanaan 3T di tanah air? Hal ini melihat jumlah kasus Covid-19 yang terus meningkat hingga hari ini.

Testing

Foto: ANTARA FOTO/Aji Styawan/hp.

Andani Eka Putra, Direktur Umum dan Sumber Daya RS Universitas Andalas, menilai testing atau uji laboratorium merupakan metode utama untuk mengetahui kasus positif di masyarakat. Alhasil, semakin masif testing akan makin terkuak jumlah kasus positif. Hal ini penting agar seluruh pemangku kepentingan dapat mengambil kebijakan yang tepat untuk mencegah penyebaran.

Kendati demikian, dia hanya menganjurkan tes usap dengan metode polymerase chain reaction (PCR) yang dipakai untuk mendiagnosis kasus positif. Andani beralasan, metode tes ini lebih efektif dan akurat ketimbang jenis tes lain seperti tes cepat (rapid test) antibodi yang banyak dilakukan di sejumlah daerah.

Rapid test antibodi tidak efektif di pekan pertama karena sensitivitas hanya 10-20 persen. Di pekan kedua pun sensitivitas baru 40 persen, sehingga tidak banyak kasus terjaring,” kata dr. Andani dalam webinar “Tes COVID-19, Seberapa Efektif?” kolaborasi antara Katadata.co.id dan KawalCOVID19 pada 30 Juli 2020.

Karena alasan ini pula, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) mengharuskan tes usap bagi penumpang pesawat setelah mendarat di bandara. “Kami sudah menemukan 10 kasus penumpang pesawat yang positif ketika dites PCR. Walaupun hasil rapid test mereka non-reaktif,” ujarnya.

Dari segi kuantitas, Indonesia termasuk minim melakukan pemeriksaan laboratorium. Totalnya sebanyak 1,14 juta orang atau 4.167 orang per satu juta penduduk hingga 22 Agustus 2020.

Jika dilihat secara harian, jumlah tes tidak bertambah signifikan. Rata-rata pada pekan ketiga Agustus hanya sekitar 12.466 orang per hari. Jumlahnya tidak sampai dua kali lipat dari periode yang sama bulan sebelumnya. Angka itu pun masih jauh dari target World Health Organization (WHO) bagi Indonesia untuk memeriksa 38.722 orang per hari. 

Selain itu, total tes tersebut masih didominasi DKI Jakarta. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, jumlah orang yang diperiksa di Ibu Kota sepanjang Agustus mencapai 138 ribu orang, sekitar 54,1 persen dari total tes Covid-19 nasional pada bulan yang sama.

Jumlah tes yang rendah menunjukkan Indonesia belum cukup banyak mengidentifikasi kasus Covid-19. Tingkat kepositifannya (positivity rate) pun mencapai 13,3 persen hingga 21 Agustus 2020. Angka tersebut jauh di atas batas maksimal WHO yang sebesar lima persen, juga tingkat kepositifan beberapa negara di Asia.

Direktur Pengembangan Strategi Penanggulangan Bencana BNPB Agus Wibowo mengatakan, ketertinggalan jumlah tes Covid-19 di Indonesia lantaran beberapa pemerintah daerah baru mengetahui adanya target tes yang perlu dicapai untuk menurunkan tingkat kepositifan.

“Waktu itu mungkin mereka (pemerintah daerah) belum tahu. Setelah itu, kami mulai sosialisasi berapa targetnya. Mereka baru tahu dan mulai pakai panduan, berapa tes yang harus dilakukan di masing-masing daerah,” kata Agus dalam webinar “Ketimpangan Tes Covid-19 di Indonesia: Dari Jakarta hingga Papua” pada 1 Agustus 2020.

Andani, yang juga menjabat Kepala Laboratorium Pusat Diagnostik dan Riset Penyakit Infeksi Universitas Andalas, menyarankan sejumlah langkah untuk meningkatkan kapasitas testing.

  • Komitmen kepala daerah mengupayakan testing massal hingga mencapai 1:1.000 penduduk per pekan (standar WHO) dan positivity rate di bawah lima persen
  • Siapkan tenaga tambahan operasional laboratorium, yang dapat berasal dari mahasiswa fakultas kedokteran atau politeknik kesehatan setempat
  • Koordinasi antara kepala daerah, layanan kesehatan, dan petugas di lapangan untuk mengatasi resistensi warga dan stigmatisasi terhadap mereka yang dijemput untuk dites
  • Kolaborasi dengan swasta dan masyarakat untuk peningkatan kapasitas laboratorium, seperti pasokan bahan atau alat dan penggunaan dana CSR atau penggalangan dana masyarakat.

Tracing

Foto: ANTARA FOTO/Galih Pradipta/aww.

Upaya untuk menemukan kasus positif baru di masyarakat melalui testing akan percuma jika tidak dilakukan pelacakan dan isolasi terhadap suspek dan kontak erat. Menurut epidemiolog Australian National University (ANU) Tambri Housen, Amy Elizabeth Parry, dan Meru Sheel, dalam tulisan mereka di The Conversation, virus corona paling menular pada 1-3 hari sebelum seseorang yang terinfeksi menunjukkan gejala. Karena itu, mereka yang ada di periode ini perlu diisolasi untuk mencegah penyebaran virus lebih luas.

Isolasi bisa dilakukan jika orang-orang tersebut teridentifikasi, salah satunya melalui pelacakan kontak. KawalCOVID19 dalam tulisan “Serial Data Virus Korona 2: Rasio Lacak-Isolasi (RLI) dan Korelasinya dengan Kematian Kumulatif” menargetkan kapasitas pelacakan sebesar 1:30. Ini berarti dari setiap satu orang positif ada 30 orang kontak erat yang dikarantina atau isolasi, minimal dalam 14 hari terakhir.

Tim KawalCOVID19 membandingkan total orang dalam pemantauan (ODP) dengan kasus positif untuk mendapatkan gambaran jumlah orang yang dilacak per kasus positif, atau disebut Rasio Lacak-Isolasi (RLI). Hingga 20 Agustus 2020, RLI Indonesia baru sebesar 4,77. Artinya, hanya sekitar lima orang yang dilacak dari satu kasus terkonfirmasi positif.

Karena data RLI tersedia per kota dan kabupaten, kami membandingkan rasio di setiap ibu kota provinsi. Belum ada yang memenuhi target, bahkan Pekanbaru dengan rasio tertinggi pun hanya melacak 21 orang. Kemudian, Jakarta, Surabaya, dan Semarang, ibu kota tiga provinsi dengan kasus Covid-19 terbanyak di Indonesia, baru melacak 1-2 orang per kasus positif.

Selain mencegah penyebaran lebih luas, pelacakan yang masif bisa menekan angka kematian. Jika seseorang yang terinfeksi lebih cepat ditemukan, maka langkah penanganan bisa segera dilakukan. Kondisi pasien pun tidak terlanjur parah sampai tidak bisa diselamatkan.

Namun, karena keterbatasan pelacakan di Indonesia, LaporCovid-19 mencatat ada 9.671 orang yang meninggal diduga akibat virus corona, umumnya berstatus ODP atau PDP (pasien dalam pengawasan), hingga 21 Agustus 2020. Angka tersebut di luar total kematian dari kasus positif yang biasanya diumumkan pemerintah.

Karena itu, Indonesia perlu belajar dari Vietnam. Masyarakat di negara itu memiliki kesadaran tinggi untuk melapor ke otoritas kesehatan jika telah melakukan kontak dekat atau sempat berada di tempat yang sama dengan pasien positif. Hal ini, didukung komunikasi publik dan transparansi data yang baik dari pemerintah, memudahkan proses pelacakan yang dilakukan hingga tiga tingkat. 

Laporan “Emerging Covid-19 Success Story: Vietnam’s Commitment to Containment” yang dipublikasikan Kementerian Kesehatan Vietnam bersama Harvard Medical School dan Oxford University Cilinical Research Unit menjelaskan otoritas kesehatan akan melacak kontak erat (F1) dari pasien positif (F0). Jika F1 dites dan hasilnya positif, maka kontak eratnya (F2) juga akan dilacak dan diperiksa. Proses ini pun bisa terus berlanjut hingga F5.

Sementara di Indonesia, kesadaran tersebut belum terbangun. Banyak pasien positif yang tidak ingat melakukan kontak dengan siapa saja atau kontak erat yang tidak jujur bepergian ke mana saja. Padahal, dukungan semua lapisan masyarakat diperlukan untuk proses pelacakan.

Tracing memerlukan kerja sama antara tenaga kesehatan, organisasi masyarakat, dan ketua RT/RW. Kerja sama dan kejujuran dari orang positif dan keluarganya pun penting,” jelas dr. Laela Soraya dari puskesmas di Dompu Timur, Nusa Tenggara Barat dalam seri webinar Katadata.co.id dan KawalCOVID19 pada 6 Agustus lalu..

Treatment

Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/aww.

Poin penting dalam perawatan adalah tidak menunda. KawalCOVID19 mengatakan kontak erat dari pasien positif Covid-19 harus menjalani isolasi sejak teridentifikasi, meski hasil tesnya belum keluar, hingga terbukti tidak terinfeksi. Isolasi yang dilakukan secara mandiri juga harus memenuhi standar yang berlaku.

“Pastikan mereka dikarantina dengan prosedur yang benar, bukan sekadar diam di rumah tetapi masih berinteraksi dengan anggota keluarga,” jelas tim tersebut dalam tulisan yang sama.

Namun, perawatan yang baik dan cepat sulit dilakukan di Indonesia karena adanya keterbatasan pelaksanaan pada dua langkah sebelumnya dan ketidaksiapan fasilitas kesehatan. Akibatnya, beban kapasitas rumah sakit bisa bertambah.

Data Kementerian Kesehatan menyebutkan baru 40,1 persen tempat tidur isolasi rumah sakit di Indonesia yang terisi pasien Covid-19 per 7 Agustus 2020. Meski masih mencukupi, rasio ini perlu diantisipasi lantaran proses identifikasi kasus hingga kini belum maksimal dan adanya potensi gelombang kedua virus.

Pelaksanaan yang buruk pada langkah ini lalu berdampak pada jumlah korban meninggal. Rasio kematian akibat Covid-19 di Indonesia mencapai 4,4 persen pada 21 Agustus 2020, lebih tinggi dibandingkan rata-rata dunia yang sebesar 3,5 persen. Meski begitu, masih ada sejumlah provinsi yang tingkat kematiannya di atas angka nasional.

Penanganan Covid-19 di Indonesia pada bulan pertama dan bulan kelima belum jauh berbeda. Pelaksanaan beberapa langkah masih di bawah standar internasional, sementara rasio yang mengukur keparahan pandemi seringkali di atas rata-rata dunia. Jika awalnya karena terlambat antisipasi, maka kini seharusnya tidak ada lagi alasan untuk mengabaikan 3T.

Ketiga langkah tersebut terbukti belum dilakukan secara masif dan agresif. Karena itu, pemerintah dan masyarakat perlu berbenah agar penyebaran virus corona di Indonesia segera terkendali.

***