Pro dan Kontra Program Biodiesel yang Disorot Faisal Basri

Andi M. Arief
6 Oktober 2022, 22:05
Pekerja memuat hasil perkebunan kelapa sawit di Medang Sari, Kecamatan Arut Selatan, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Jumat (19/8).
Muhammad Zaenuddin|Katadata
Pekerja memuat hasil perkebunan kelapa sawit di Medang Sari, Kecamatan Arut Selatan, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Jumat (19/8).

Kebijakan Biodiesel dituding menjadi penyebab kelangkaan minyak goreng pada awal 2022. Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri mengatakan kebijakan pemerintah atas Biodiesel menyebabkan pasokan minyak sawit mentah atau CPO menjadi lebih banyak terserap ke program tersebut dibandingkan dengan industri lainnya.

Faisal mengatakannya saat ditemui di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Kamis (6/10).  Faisal rencananya menjadi saksi Sidang Gugatan Perbuatan Melanggar Hukum oleh pemerintah terkait kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng pada awal 2022. Sidang tersebut ditunda karena tidak lengkapnya majelis hakim.

Faisal mengatakan, penentuan Harga Eceran Tertinggi atau HET minyak goreng menjadi pemicu kelangkaan pasokan minyak goreng di pasar. Sebagai informasi, Kementerian Perdagangan menetapkan aturan HET agar masyarakat dapat menjangkau harga minyak goreng.

Namun demikian, Faisal menilai akar masalah kelangkaan harga minyak goreng ada pada peningkatan program biodiesel menjadi B30. Hal tersebut membuat serapan CPO pada industri pangan menyusut.

"Biaya produksi minyak goreng naik karena harus menyerap CPO dengan harga yang lebih tinggi. Ini yang menyebabkan harga minyak goreng di pasar menjadi tinggi dan dinilai tidak terjangkau oleh pemerintah," ujarnya.

Namun, penetapan HET tersebut membuat ketersediaan minyak goreng di pasar menjadi minim. Alasannya, pelaku industri minyak goreng memutuskan untuk tidak menjual minyak goreng untuk menghindari kerugian akibat HET.

"Tujuan program biodiesel saat ini telah melenceng dari tujuan utamanya, yakni memperbaiki harga tandan buah segar atau TBS sawit," kata Faisal.

Faisal mengatakan, program Biodiesel membuat harga CPO menjadi dua jenis, yakni CPO untuk industri Biodiesel dan industri lainnya. Namun,  industri biodiesel menyerap CPO yang dialokasikan untuk industri lainnya karena ada perbedaan harga.

Dia menjelaskan harga CPO untuk Biodiesel lebih tinggi karena negara menjamin harga jual biodiesel tinggi melalui Diktum Ketiga Keputusan Menteri ESDM No. 146.K/HK.02/DJE/2021 tentang Harga Indeks Pasar Bahan Bakar Nabati Jenis Biodiesel Yang Dicampurkan Ke Dalam Bahan Bakar Minyak. Akibat aturan tersebut, harga biodiesel di pasar per September 2022 adalah Rp 10.281 per liter. Pada saat yang sama, harga CPO hanya sekitar Rp 9.000 per kilogram (kg), sementara harga solar adalah Rp 7.500 per liter.

Dia mengatakan, pemerintah akan mempertahankan harga biodiesel tetap tinggi melalui subsidi yang diberikan kepada PT Pertamina. Sementara itu, harga CPO untuk industri pengguna lainnya akan mengikuti mekanisme pasar. "Perusahaan biodiesel haram rugi, kalau rugi ditambal sama dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Artinya, pemerintah ini memenangkan energi ketimbang urusan perut kan?" kata Faisal.

Adapun, insentif kepada industri biodiesel yang diberikan oleh pemerintah pada 2021 mencapai Rp 51,8 triliun. Sejak program biodiesel diwajibkan pada 2015, total insentif yang telah dikucurkan pemerintah mencapai Rp 109,96 triliun hingga 2021.

ESDM Sebut Program Biodiesel Tak Ganggu Industri Pangan

Pemerintah menetapkan program wajib biodiesel sejak 2015 untuk meningkatkan harga minyak sawit mentah yang saat itu hanya senilai US$ 400 per ton. Awalnya,  program biodiesel untuk mendongkrak harga CPO dan Tandan Buah Segar petani.

Halaman:
Reporter: Andi M. Arief
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...